Rabu, 27 April 2016

Review Vila Ratna 2 Ubud

Siapa yang nggak mau leyeh-leyeh atau nyemplung di sini?
Gara-gara Big A harus ikut acara outbond sekolah, liburan kami di Ubud kali ini singkat banget. Tapi nggak papa, meski hanya menginap semalam kami puas karena vila yang kami tempati kali ini istimewa banget. Saya nggak salah memilih Vila Ratna 2 di Airbnb.

Sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya kalau saya punya kredit Airbnb hasil menang kuis @kartupos. Iya, alhamdulillah saya sering menang kuis. Tapi jangan khawatir, saya juga sering bagi-bagi rezeki kok. Kalau mau voucher Airbnb senilai $35, bisa daftar lewat tautan ini: https://www.airbnb.com/c/akumalasari. Lumayan kan dapat diskon sekitar Rp 460 ribu untuk pemesanan pertama. 

 

https://www.airbnb.com/c/akumalasari
Ketika saya cek lokasi Vila Ubud ini di Google Map, kok kayaknya nggak ada jalannya ya? Karena takut nyasar, saya sekalian pesan mobil jemputan dari bandara Ngurah Rai melalui Mbok Ratna. Tarif bandara - Ubud 300 ribu per mobil sekali jalan. Di Ngurah Rai saya dijemput oleh Bli Kadek - adik Mbok Ratna - yang langsung mengantar kami ke Ubud.

Jalan masuk ke vila ini lewat Jalan Raya Penestasan, kemudian masuk di plang D'Omah Bali. Mobil bisa diparkir di daerah situ. Perjalanan kami lanjutkan dengan sepeda motor. Kami berjalan kaki 50 meter dari tempat parkir mobil, sampai di warung Mbok Ratna yang juga membuka laundry. Kami ditawari sewa sepeda motor dengan tarif Rp 50.000 per hari. Dari warung Mbok Ratna, kami masih harus naik motor sekitar 800 meter, melalui jalan selebar pematang sawah yang untungnya sudah diperkeras. Memang mobil nggak bisa masuk jalan ini. Pantesan nggak ada gambar jalannya di Google Map :D

Mbok Ratna dan keluarganya sangat ramah menyambut kami. Ada Mbok Kadek (yang ini perempuan ya) yang mengantar kami sampai vila. Karena Vila Ratna 2 masih ada tamu yang menginap, kami dipersilakan beristirahat di vila ratna 3. Waktu itu memang baru jam 11 siang, belum saatnya cek in.
 
Jalan menuju Vila Ratna. Rugi ke Ubud kalau nggak lihat sawah :p
Compound vila Ratna ada 3 vila, terletak di ujung jalan pematang sawah yang kami lalui. Vila Ratna 3 ini juga cakep banget, dan kelihatannya lebih baru dari Vila Ratna 2. Vila ini hanya memiliki satu kamar tapi ada satu day bed yang cukup besar di ruang depan, jadi nggak masalah untuk satu keluarga dengan empat orang. Kamar mandinya satu, luas banget dengan bath tub. Ada dapur yang cukup lengkap peralatannya dan lounge dengan sofa yang nyaman. Sayangnya di vila ini kolam renangnya kecil, nggak bisa untuk berenang beneran. Yah, sekedar untuk nyemplung ngademin badan aja, atau bermain air untuk anak kecil.

Kalau tertarik dengan Vila Ratna 3, bisa cek listingnya di airbnb: https://www.airbnb.com/rooms/7115392
Tarifnya Rp 1,1 jutaan per malam, lebih murah sedikit daripada Vila Ratna 2.

Kami hanya beristirahat sebentar di vila ini. Barang bawaan kami yang nggak seberapa kami titipkan dengan Mbok Kadek, sementara kami cari makan di Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku. Saya sekalian keluar ikut acara Ubud Writers and Reader's Festival. Sementara saya ikut acara sampai sore, Si Ayah dan Little A berenang di vila Ratna 2 yang sudah dibersihkan dan siap untuk kami tempati.

Kolam renang Vila Ratna 3, lumayan kecil




Saya dulu memilih Vila Ratna 2 ini karena kesengsem sama kolam renang pribadinya. Ternyata emang enak banget bermalam di vila dengan kolam renang privat, nggak perlu rikuh dengan tamu lain dan bisa bebas berenang kapan saja. Kalau memesan penginapan via airbnb, saya sarankan untuk membaca dengan teliti. Saya tadinya pengen nginep di vila lain yang ada kolam renangnya juga, e tapi ada yang review kalau orang lain bisa bebas keluar masuk. Aduh ngeri juga kalau nggak ada privasi. Alhamdulillah di Vila Ratna 2 ini privasi terjaga, mau renang pakai pakaian renang aneh-aneh pun nggak masalah :p Vila kami ini cuma tetanggaan sama sawah, bukan hotel yang tamunya bisa ngintip kami.

Malam hari selepas dari 'mendaki' bukit Campuhan, saya dan Little A sempat berenang dan main air lagi. Nggak mau rugi, Little A sampai berenang 3 kali: sore, malam dan pagi keesokan harinya.
 Ada dua kamar di vila ini. Tadinya sih saya berharap anak-anak bisa tidur di kamar sendiri. Tapi karena Big A batal ikut, akhirnya Little A tidur di kamar kami juga. Sayang banget ya kamar satunya nggak kepakai. Padahal besarnya sama dan ada kamar mandinya juga. Kamarnya dua-duanya cukup lega, nggak terasa sempit.

Kamar mandi dua sangat membantu kami biar nggak rebutan kalau ingin pipis. Gaya kamar mandinya semi outdoor, tapi tanpa bath tub. Airnya hangat dan mengalir lancar. Semuanya sangat bersih dan nyaman ditempati. Di vila ini disediakan handuk bersih, sabun dan shampoo.

Ruang duduk, tempat makan dan dapurnya jadi satu. Alat-alat di dapurnya lengkap, ada kompor gas, rice cooker, panci, penggorengan, dll. Saya sih tidak menggunakan dapurnya karena malas masak sudah jajan di luar. Saya hanya membuat teh di pagi hari. Air mineral yang disediakan satu galon sehingga gak bakal kehausan. Sebenarnya ada pilihan sarapan diantar ke vila, seharga Rp 80.000 untuk dua orang, tapi kami memilih keluar mencari sarapan di Alchemy yang dekat banget dengan vila. Pengen nyobain kafe vegan, hehehe.








Saya dan Si Ayah cukup kagum dengan penataan taman di vila ini yang cantik khas Bali. Kami berdua sampai motret segala jenis tanamannya untuk diterapkan di rumah kami. Tanaman-tanaman tropis dipadu Bougenville ternyata indah banget, nggak bosen mandangnya.

TV di ruang tengah punya saluran TV kabel dari Indihome, tapi kami nggak banyak nonton. Internet juga bisa menyala dengan sambungan wifi, tapi kecepatannya biasa saja, standar Indonesia lah ya... Sejauh kami menginap yang hanya satu malam, kami tidak punya komplain apa-apa. Saya cukup puas menginap di sini. Mungkin terasa kurang lama aja nginapnya, hahaha.

Tarifnya juga nggak terlalu mahal. Saya bayar Rp 1,4 juta per malam untuk vila dengan dua kamar plus kolam renang pribadi ini via Airbnb. Kalau tertarik sewa juga, bisa cek listingnya di sini: https://www.airbnb.com/rooms/5451185








Pemandangan sawah dan skuter yang kami sewa :)

Vila Ratna 2 ini recommended banget untuk keluarga. Letaknya memang agak masuk dari jalan raya, tapi itu malah membuat lingkungannya sangat tenang. Yang patut diacungi jempol adalah servis dan keramahan pemiliknya, khas keluarga Bali yang menyambut kami sehingga kami merasa nyaman seperti di rumah sendiri.

~ The Emak

Kamis, 21 April 2016

Sepedaan di Amsterdam


When in Rome do as the Romans do...
Peribahasa ini kalau diterjemahkan dalam bahasa Belanda: ketika kamu di Amsterdam, naiklah sepeda. Begitu kira-kira :)

Saya memang berencana mengajak keluarga untuk sepedaan di Amsterdam kalau cuaca cerah. Dalam rangkaian jalan-jalan ke Eropa, kami cuma menginap dua malam di Amsterdam. Begitu ada satu hari tanpa hujan, kami langsung melipir ke tempat persewaan sepeda.

Kami menyewa sepeda di Mac Bike yang cabangnya ada di mana-mana di kota ini, salah satunya di sebelah stasiun Centraal. Selama di Amsterdam kami menginap di hotel Meininger Sloterdijk, satu stasiun dari Centraal. Setelah sarapan di hotel, kami naik kereta ke Centraal, sewa sepeda seharian untuk keliling kota, dikembalikan ke tempat semula dan nanti pulang ke Sloterdijk naik kereta lagi.

Sebenarnya nggak ada alasan tertentu saya memilih menyewa sepeda di Mac Bike, cuma karena lokasinya strategis saja. Mac Bike juga punya segala model sepeda, termasuk sepeda yang ada boncengannya untuk anak-anak. Tidak perlu syarat yang ribet untuk sewa sepeda, gak perlu pakai SIM juga :D Pelayanan di Mac Bike cukup ramah dan profesional. Sebelum jalan, kami dijelaskan cara menggunakan sepeda, termasuk cara menggerendel pakai gembok biar nggak dicuri orang.

Jenis dan harga sewa sepeda di Mac Bike bisa dilihat di websitenya. Kita bisa menyewa untuk 3 jam saja atau sewa seharian. Kami menyewa tiga sepeda, 1 sepeda dewasa dengan boncengan untuk Si Ayah dan Little A dan 2 sepeda anak-anak untuk Big A dan... saya, hiks. Ketika memilih sepeda, memang yang cocok untuk saya adalah sepeda anak-anak karena saya orangnya mini, setinggi Big A yang usianya 12 tahun. Big A ngakak bahagia ketika petugas Mac Bike memberi saya sepeda yang sama dengan yang dia naiki. Saya tersenyum kecut, tapi kemudian nyengir senang karena artinya sewa sepedanya sedikit lebih murah, hahaha. Total kami membayar EUR 34,25 dengan kartu kredit. Dengan kurs saat itu kalau dirupiahkan sebesar IDR 575,511.

Untuk tarif sewa sekarang (April 2016), sebagai berikut:
Sepeda dewasa biasa EUR 14,75 (sehari) atau EUR 11 (3 jam)
Sepeda dewasa dengan boncengan anak EUR 17,75 (sehari) atau EUR 12,5 (3 jam)
Sepeda anak-anak EUR 9,75 (sehari) atau EUR 7,5 (3 jam) 

Sebelum meninggalkan kantor Mac Bike, saya mengajukan pertanyaan maha penting: sepeda di sini jalannya di kiri apa kanan? Petugas Mac tertawa karena melewatkan informasi penting itu karena dia mengasumsikan kami semua sudah tahu. Ternyata, kami yang sudah terbiasa jalan di sebelah kiri (di Indonesia dan Australia) cukup kesulitan untuk mengganti mind-set berjalan di sebelah kanan, dalam waktu singkat.

Di depan stasiun Amsterdam Centraal

Meski tahu tidak gampang berganti jalur dari kiri ke kanan, kami nekat saja. Saya tidak membuat rute khusus untuk berkeliling kota dengan sepeda ini. Pokoknya menuju depan Rijks Museum yang ada tulisannya I AMSTERDAM. Kalau dihitung di google map, kami bersepeda sepanjang 3 kilometer. Si Ayah memimpin di depan, memilih jalan menyusuri kanal-kanal. Di kanan kiri kami terlihat bangunan dengan arsitektur khas Belanda.

Kami hanya mengandalkan peta kertas, bukan digital karena kami tidak membeli pulsa internet selama di Belanda. Ini yang sedikit membingungkan karena kami tidak tahu di mana kami berada. Nama jalan ada, tapi kami kesulitan mencocokkannya dengan peta. Saya yang biasanya pinter membaca peta jadi frustasi karena saya merasa melihat jalan yang sama berulang-ulang: jalan melengkung, kanal, jembatan.

Beberapa kali kami memutuskan berhenti. Selain untuk beristirahat, juga untuk melihat-lihat suasana. Karena tanpa persiapan, kami jadi merasa diberi kejutan bakal nemu apa di jalan. Yang pertama, kami tidak sengaja menemukan patung Multatuli. Sekalian kami beri pelajaran ke Big A dan Little A tentang Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker yang mengkritik penjajahan Belanda di buku Max Havelaar.

Stop kedua adalah di depan Koninklijk Paleis yang cukup ramai dengan turis. Setelah meminggirkan sepeda, kami berfoto-foto sebentar kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Dari Paleis, kami sempat nyasaaaar. Di tengah jalan saya dimarahin wong londo karena minggir ke sebelah kiri jalan. "To the right, please!" begitu teriaknya. Hiks, ja ma'am. Maaf ya Nyah, saya belum biasa minggir ke kanan. Si Ayah juga dimarahin orang karena sepedanya naik ke trotoar. "Jangan di trotoar woy, sepeda di jalan besar!" Si Ayah bingung juga karena sedang cari-cari jalan. 

Akhirnya kami sampai di tempat yang bisa untuk istirahat dan duduk-duduk: belakangan kami tahu kalau ini namanya Rembrandt Square. Sepeda kami parkir di depan coffee shop yang tidak hanya menjual kopi ;) Agak lama kami duduk di sini sambil menata hati dan mencari jalan terdekat ke Rijks Museum. Alhamdulillah, kami nggak tersesat lagi. Setelah melewati beberapa jalan melengkung dan jembatan, akhirnya kami sampai juga ke Rijks. Sepeda kami parkir di tempat parkir sepeda yang sudah terlalu penuh dengan sepeda (benar-benar Amsterdam). Di sini parkir sepeda gratis tapi toilet umumnya bayar, 50 sen sekali masuk.



Awas, coffee shop ini tidak hanya menjual kopi ;)
Kami tidak masuk ke museumnya, hanya nongkrong di luar sambil melihat-lihat turis yang ramai foto-foto di depan tanda I amsterdam. Susah mencari spot untuk berfoto sendiri karena orang-orangnya amprokan, bukan foto bergantian. Mungkin harus ke sini pagi banget kalau memang niatnya foto tanpa harus ngecrop orang lain. Di tempat ini juga ada taman bermainnya, yang membuat Little A cukup betah.

Dari Rijks Museum, kami berjalan kaki ke Van Gogh Museum. Saya ngincer beberapa museum di Amsterdam, tapi kami cuma sempat ke dua museum: Van Gogh di dekat Rijks yang kami kunjungi hari itu dan NEMO Science Museum di dekat stasiun Centraal yang kami kunjungi keesokan harinya. Di Van Gogh Museum, Little A mengisi lembar aktivitas untuk anak-anak dan setelah selesai dia mendapatkan suvenir berupa kartu pos dan stiker. Kami sekeluarga cukup senang dan puas di museum ini, bisa belajar tentang perjalanan kreatif seorang maestro seni lukis dunia.


Setelah puas main-main di kompleks museumplein, kami pulang ke stasiun centraal. Kami melewati jalan yang berbeda dengan jalan berangkat tadi. Saya ingat melewati pasar bunga dan kemudian lewat red district. Saya tahu ini daerah red district karena saya lihat Mbak-Mbak dengan dandanan semlohay di depan gedung-gedung. Ada juga yang saya lihat mejeng di jendela. Setelah mengembalikan sepeda, saya tanya Si Ayah apa dia tahu kalau tadi lewat red district. Dia jawab nggak tahu. Hahaha, bukan rezekimu, Mas :p Moga-moga anak-anak juga nggak lihat apa-apa.

Dua hari memang terlalu sebentar untuk menjelajah Amsterdam. Tapi tetap alhamdulillah, satu impian saya sudah bisa saya coret dari daftar: foto di jembatan dengan latar belakang kanal Amsterdam. Semoga sepeda anak-anaknya nggak terlalu mencolok ya :D


~ The Emak

Senin, 04 April 2016

Postcard from Istanbul



"'Picture, picture!', kata anak muda itu sambil menarik tangan saya. Setelah melihat hasilnya, mereka berseru girang dalam bahasa yang asing untuk telinga saya. Kemudian mereka bercerita, mungkin tentang asal usulnya. Tiga kata yang saya mengerti dari cerita mereka hanyalah picture, selfie, dan Kurdistan." ~ Nino Aditomo

***
Kutipan tadi salah satu cerita Si Ayah ketika mengunjungi Istanbul dalam business trip. Saya dan Duo Precils nggak ikut karena... tabungan habis :p Tapi nggak papa, insyaallah nanti kami juga bakalan menginjakkan kaki di kota dua benua ini. Amin. Istanbul bisa dijadikan destinasi pilihan karena bikin visanya mudah banget, bisa diurus secara online. Cara membuat e-visa Turki bisa dibaca di sini. Jadi kalau punya uang, siapapun bisa pergi nggak pakai ribet.

Setiap kali Si Ayah business trip, selain menanti oleh-olehnya (jelas dong), saya juga menanti-nanti hasil jepretannya. Biasanya kalau travelingnya nggak sama saya dan anak-anak, dia lebih bebas untuk motret dari sudut pandangnya yang lebih artistik, bukan foto jurnalistik pesanan saya untuk ilustrasi blog :D 

Begini lah wajah kota Istanbul dari balik lensa Si Ayah. Maaf nggak ada selfie ;) Selamat menikmati.

Photo & caption: @NinoAditomo 
Camera: Mirrorless Sony NEX 5N
Menampilkan Patung Kemal Ataturk bersama para pendiri Turki modern, Monumen Republik ini terletak di tengah-tengah Taksim Square. Dari bandara, cara termudah - dan paling murah - mencapai Taksim Square adalah dengan shuttle bus. Taksim adalah perhentian terakhir bus pada rute tersebut. 

Sepasang pelancong berfoto bersama burung-burung penghuni tetap Taksim Square. Konon Taksim Square adalah lokasi favorit untuk berdemonstrasi di Istanbul.
Tram tua di Istiqlal Cadeci, sebuah ruas jalan populer yang dipenuhi toko dan restoran. Bulan lalu beberapa turis menjadi korban bom bunuh diri tak jauh dari lokasi ini.

Entah apa fungsi bangunan kecil sisi timur Blue Mosque ini. Yang jelas, bangunan kuno yang menawan seperti ini bertebaran di berbagai penjuru Istanbul, memanjakan para penikmat sejarah dan arsitektur. 

Blue Mosque yang masyhur, dipotret dari taman yang berada di antara masjid tersebut dan Hagia Sofia. Konon masjid ini dibuat untuk menandingi kemegahan Hagia Sofia, yang ketika itu menjadi gereja utama Kerajaan Romawi.

Interior Blue Mosque mungkin lebih menawan daripada kenampakan luarnya. Ada bagian khusus bagi pengunjung non-Muslim untuk menikmatinya, tanpa mengganggu jemaah yang sedang beribadah.

Salah satu tradisi para Kaisar Romawi adalah menampilkan potret dirinya bersama Yesus di dinding-dinding Hagia Sofia. Kunjungan ke Istanbul tidak akan lengkap tanpa melihat museum luar biasa ini untuk merasakan sejarah pertemuan peradaban Barat dan Timur, Eropa dan Asia, Kristen dan Islam.

Salah satu pedagang rempah di Grand Bazaar menawarkan campuran teh yang aromanya aduhai. Wajah ramahnya segera berubah menjadi masam setelah menyadari bahwa yang ditawari hanya berniat mengambil foto :D  

Selat Bosporus yang memisahkan bagian Istanbul yang berada di daratan Eropa dan Asia. Salah satu cara terbaik menikmati Istanbul adalah dengan menumpang feri-feri milik pemerintah seperti ada di gambar ini. Pelajari rutenya, dan gunakan kartu transport Istanbulcard. Jauh lebih murah dan nyaman daripada membeli tiket kapal-kapal swasta yang juga banyak beroperasi.   

Menikmati senja dengan memancing tampaknya menjadi hobi yang cukup populer bagi penduduk Istanbul. Jembatan Galata ini adalah tempat yang asyik untuk nongkrong sambil menikmati pemandangan kota dan selat Bosporus.  


~ The Emak

Kamis, 24 Maret 2016

Pengalaman Pahit 'Diusir' dari Potato Head Bali

Little A, sebelum kejadian

Tuhan memang maha asyik. Saya diajak guyon waktu liburan sekeluarga ke Bali tempo hari. Sabtu pagi saya dibuat jumawa karena profil keluarga kami dimuat di koran Jawa Pos, bersanding dengan profil Mbak Nyomie yang sudah naik turun gunung membawa anaknya dan juga Mbak Sha Ine Febriyanti, aktris papan atas. Lha apalah saya ini, Emak-Emak ndeso yang ikutan nampang di koran. Jelas saya besar kepala. Sabtu siangnya kami disambut dengan sangat ramah di hotel Tugu di Canggu Bali. Di hotel mewah ini semua keinginan kami bisa dituruti. Mau afternoon tea di bale-bale? Boleh. Mau sarapan di pantai? Monggo. Di sini tamu bagaikan raja, kami sampai menyesal karena hanya menginap satu malam saja. Lha gimana lagi, menangin voucher hotel-nya cuma untuk satu malam :p. E lha kok Minggu sorenya kami 'diusir' dari beach club yang tersohor di daerah Seminyak ini. Ha-ha-ha.
Saya bukan penggemar beach club atau tempat yang ramai-ramai. Kami 'nyasar' ke Potato Head karena diajak adik saya Diladol. Dia sekeluarga memang liburan juga ke Bali, tapi jadwal kami berbeda. Saya menginap di Canggu sementara dia menginap di hotel murah di Kuta. Beda kelas, guys! *kibas kartu kredit* Jadi kami memutuskan untuk ketemuan di sini sambil (rencananya) leyeh-leyeh melihat sunset di Seminyak. Rencananya...

Mendengar kata beach club, saya langsung teringat Kak kancut Cumilebay. Saya baca review potato head di lapaknya. Kayaknya tempatnya oke punya. Tapi saya nggak yakin kalau tempat ini kids friendly. Eh ternyata Kak Tesya dan kiddosnya pernah ke sini dan ditulis di blognya. Cukup family friendly menurut Kak Tesya, ada kolam renang untuk anak pula. Sip!

Kami sampai di sini sekitar jam 3 sore diantar sopir Hotel Tugu yang sabar banget menghadapi kemacetan jalanan karena bubaran upacara melasti. Jalan masuk ke Potato Head ini semacam kios kecil yang dijaga sekuriti. Semua orang diperiksa. Si Ayah dilarang membawa tripod-nya. Huwooo... nggak jadi motret sunset dong. Masuk ke sini dilarang bawa makanan dan minuman. Saya kebetulan masih membawa botol air mineral, petugas tidak menyita tapi meminta saya untuk menyimpannya di tas saja, tidak boleh diminum di dalam. Hokeee...

Setelah lolos sekuriti, kami disambut waiter. "Apa ibu pernah ke sini?" kata waiter bernama David (atau Dafid, atau Daveed, entahlah). Karena saya bilang belum pernah, dia menjelaskan aturannya. Ada dua venue yang bisa dipilih, yang Indonesia atau Internasional. Makanannya ya Guys, bukan orangnya. Saya tadinya pilih resto internasional karena anak-anak bakal lebih suka makan roti atau pasta, tapi ternyata sudah penuh. Ya sudah akhirnya kami dapat tempat duduk di resto Lilin, masakan Indonesia. David mengatakan kami bisa pesan di resto Internasional asalkan kami juga memesan di resto Indonesia. Kata David kami boleh ke mana saja di area beach club ini dan menggunakan fasilitas apa saja yang tersedia. Baiklah.

Harus saya akui, arsitektur Potato Head ini oke banget. Apalagi kabarnya seniman top Indonesia, Eko Nugroho dilibatkan dalam proyek ini. *sungkem mas Eko* Yang paling keren tentu saja dekorasi dari daun-daun jendela yang dipasang mengelilingi venue ini. Sungguh selfieable dan instagrammable.

Urip mung mampir selfie

Little A langsung berganti bikini dan bermain di pantai, ditemani Si Ayah. Saya menemani Big A yang hari itu kurang enak badan. Kami memesan minuman di sini yang harganya mulai 40-60 ribu untuk minuman tanpa alkohol. 

Keluarga Diladol akhirnya datang dan bergabung dengan kami. Cousin K juga mau main di pantai. Sejam kemudian kami baru pesan makanan, setelah buku menu diambil tanpa permisi dari meja kami, hahaha. Menu makan yang ada di sini adalah set menu untuk tiga porsi, harganya mulai 150 ribu, belum termasuk nasi. Big A pengen chicken wings. Tadinya dari penuturan Si David, dari set menu ini saya cuma bisa pilih satu macam, dan akan disajikan dalam 3 porsi. Huh? Waktu itu saya sampai tanya: jadi saya nggak bisa pesan 3 macam makanan untuk set menu? "Tidak Ibu, hanya pilih satu menu saja." Ternyata kata pelayan bisa memilih 3 menu. Agak gak beres Si David ini. Porsinya memang kecil-kecil banget. Gak bakalan kenyang sih, cuma bisa untuk ganjal perut saja. Big A suka banget chicken wings-nya, sayangnya cuma dapat dua biji :)

Menjelang matahari terbenam tampaknya Dila mulai kewalahan mengejar Cousin K yang berlarian ke mana-mana. Yah namanya anak-anak. Akhirnya mereka pamit duluan. Saya membilas Little A yang bikininya penuh dengan pasir. Sepertinya dia sangat menikmati waktu bermainnya di pantai. Memang sih kalau pantai di depan beach club begini bersih dan lebih sepi. Pantainya pun tetap terbuka untuk umum kok, tapi mungkin memang harus jalan agak jauh dari 'gerbang' pantai yang umum. Toilet di PH juga bersih, luas dan adem banget. Petugas cleaning service sangat ramah pada kami, menunjukkan jalan dan membukakan pintu. Setelah bilas sampai bersih, saya mulai menyuapi Little A dengan nasi zaitun dan sayap ayam. Ketika itulah ada pelayan resto yang menghampiri kami dan mengatakan bahwa waktu kami tinggal 15 menit lagi, karena tempat ini sudah di-booking. "Masih lama kok, masih lima-belas-menit," katanya sambil nyengir. Saya dan Si Ayah berpandang-pandangan. Hah, memangnya ada batasan waktu di sini? 

Saya tidak ingat kalau ada aturan soal batasan waktu di sini. Yang saya baca dari tulisan teman-teman di blog, kalau main ke beach club ya minimal bakalan nongkrong sampai sunset. Ketika datang di awal juga tidak diberi tahu. Sungguh nggak nyaman banget, diingatkan untuk pergi saat saya sedang menyuapi Little A. Di situasi seperti ini mau nggak mau saya dan Nino (suami saya) jadi berpikir, apakah kami akan mendapat perlakukan seperti ini kalau kami bule. Keluarga bule di seberang kami anteng-anteng aja nggak diganggu gugat. Sementara yang duduk-duduk di dekat kolam renang (kabarnya harus transaksi minimal 500 ribu) sepertinya juga tetap akan berpesta sampai sunset.

Padahal kalau dipikir-pikir, kami ini kurang Ngostraliyah apa coba? Suami saya kuliah di Ostrali. Little A lahir di Sydney. Big A masih lebih lancar ngomong bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Anak-anak ini lebih doyan roti dan keju (dan vegemite!) daripada nasi. Ironis ya? Intinya sih, kami gagal menyamar jadi bule, hahaha. Gak mungkin kamu akan diperlakukan seperti bule kalau kulit kamu coklat, rambut kamu hitam.

Mungkin memang tampang saya lah masalahnya. Tampang saya yang sederhana ini. Kalau saya pinter pakai benges lipenstik seperti blogger termashyur Simbok Olenka mungkin bakalan beda perlakuannya. Atau saya berdandan ala hijaber kondang pakai kacamata hitam besar meski di ruang tertutup (seriously), mungkin bakalan beda pelayanannya. Atau apakah saya semestinya cas cis cus pake basa enggres dengan si David agar lebih dihormati? Mas dan Mbak, Bali ini masih Indonesia kan? Saya akan tetap pakai bahasa Indonesia selama saya di Indonesia kalau yang saja ajak bicara orang Indonesia juga.

Akhirnya Si Ayah bangkit dan menanyakan apa alasan kami disuruh pergi dengan halus. Ini kami masih tanya baik-baik ya. Si pelayan (yang berbeda dari yang mengusir kami) tidak bisa menjelaskan, dia hanya bilang bahwa meja kami sudah ada yang memesan. Dia tidak bisa berkomentar tentang batasan waktu (mungkin memang tidak ada?). Lha kalau masih ada yang duduk di sini kenapa mejanya dikasih orang? Si pelayan meminta maaf tapi tidak menyelesaikan masalah. The damage has been done.

Meski mungkin si pelayan tidak akan benar-benar mengusir kami, saya sudah tidak nyaman duduk di meja. Oke, kami akan pergi, tapi setelah saya habiskan makanan seharga 400 ribu ini, biar nggak mubazir. Sakit hati saya juga karena saya sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit, tapi mendapat pelayanan yang buruk, sangat tidak sepadan. Masih mending adik saya, Dila, yang meski mengaku jadi food blohher tapi keukeuh pesen satu minuman doang dan 'cuma' habis 60 ribu. Modal 60 ribu kalau 'diusir' mungkin sakit hatinya dikit aja :p Lha saya? Pahit bener. Ternyata memang pinteran strategi adik saya daripada saya :D Kalau nggak pakai 'diusir' mungkin ya asyik-asyik aja di PH. Baca cerita tentang Potato Head di blognya.

Setelah membayar dan sebelum pergi, Si Ayah sekali lagi menanyakan alasan kami 'diusir'. Kali ini pakai bahasa Inggris yang faseh agar diperhatikan sama waiter-waiter trendi itu. Eh Si David bilang kalau dia sudah memberi tahu saya kalau kami diberi batasan waktu. "YOU LIE!" semprot Si Ayah. Duh, merinding disko gak sih dibelain suami kayak gitu? Emang David nggak pernah kasih tahu saya, Si Ayah tahu karena ada di belakang saya ketika saya bicara dengan David. Lagipula, kalau dia memberi tahu saya kalau kursi itu cuma bisa dipakai sampai sebelum sunset, saya bakalan menolak karena rencana awal saya dan Dila adalah menikmati sunset. Si Ayah yang cas cis cus minta dipanggilkan manajer. Si manajer yang kata para waiter sedang sibuk itu akhirnya datang juga dan meminta maaf. Manajer menawarkan free drink untuk Si Ayah. "No, I don't need your drink," balasnya. Ya udah deh, kuliah gratis tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia oleh pak dosen :p

Menurut Si Ayah, David si waiter ini dari awal memang nggak pengen kami ada di area internasional. Saya jadi ingat, awalnya dia menawarkan pada saya, mau di area internasional atau Indonesia? Ketika saya memilih area internasional, si David malah bilang kalau sudah penuh. Lha kenapa tadi ditawarkan? Apa dia tiba-tiba berubah pikiran? Jadi ada tiga 'kesalahan' si David ini, setidaknya menurut asumsi kami. Entah dia sengaja atau tidak, kami tidak tahu.
1. Menghalangi kami duduk di area Internasional.
2. Memberi info yang tidak benar tentang menu set. Saya hanya boleh pesan satu jenis, padahal boleh pesan tiga.
3. Memberikan tempat duduk kami kepada orang yang booking dan berkata bohong bahwa dia sudah bilang pada kami kalau ada batasan waktu.

Ketika kami menunggu pesawat di bandara Ngurah Rai, saya menerima email dari manajer Potato Head. Dia meminta maaf atas kejadian yang kami alami dan menawarkan gantinya kalau kami ingin ke sana lagi. Thank you but no. I wish I could undo this experience. Biar saya nggak usah ingat-ingat lagi. Rasanya saya nggak sanggup datang ke Potato Head lagi. Saya sungguh marah dan terhina diperlakukan tidak baik, lebih parah lagi, oleh bangsa sendiri. Seharusnya dengan harga makanan dan minuman seperti itu, Potato Head punya standar pelayanan yang sangat tinggi dan tidak membeda-bedakan tamu lokal dan internasional.

Saya menunda menulis pengalaman ini untuk memberi waktu agar kemarahan saya mereda. Tapi nyatanya sampai sekarang masih saja baper sakit hati kalau ingat ini. Ketika berkunjung ke Singapura, saya sempat singgah ke kafe Three Buns, yang masih satu grup dengan Potato Head. Di sana saya dilayani dengan baik, meski memang sebagian besar tamunya adalah expatriat, bukan orang Asia. Sementara pengalaman saya di negeri sendiri... Saya menulis untuk mengingatkan siapa pun di dunia hospitality agar selalu menghargai tamu, tidak peduli asal usulnya atau tampang sederhananya. Kalau memang ada aturan tertentu untuk tamu sebaiknya ditulis dan dijelaskan dengan gamblang di awal, tapi berlaku untuk semuanya ya, jangan membeda-bedakan.

Adakah yang pernah mendapat perlakuan yang nggak enak di beach club? Share di komentar ya. Thanks for reading ^_^

>>> UPDATE 18 APRIL 2016 <<<

Pihak Potato Head pusat sudah menghubungi saya melalui telepon. Berikut adalah statement dari PH.

"Kami telah berbicara langsung dengan Ibu Ade Kumalasari. Kami sangat menyesali dan sungguh meminta maaf kepada Ibu beserta keluarganya atas kesalahan komunikasi yang telah terjadi dan atas pengalaman yang tidak menyenangkan di Potato Head Beach Club.

Kami selalu menginginkan pelayanan terbaik kepada semua pelanggan kami dan berkomitmen untuk memperlakukan semua pelanggan kami secara sama, yaitu sebagai tamu terhormat di rumah kami. Ini adalah nilai perusahaan yang kami ajarkan kepada semua anggota staf kami. Kami adalah perusahaan Indonesia yang dioperasikan oleh orang Indonesia, dan kami menyambut dan menghargai semua tamu kami dengan setara tanpa membeda-bedakan.

Terima kasih Ibu Ade atas inputnya. Kami akan meningkatkan pelatihan kami agar staff kami lebih lengkap sewaktu memberikan informasi dan berkomunikasi, dan supaya kami bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua tamu kami."


Dengan ini saya nyatakan masalah ini selesai ya. Semoga Bali tetap menjadi destinasi yang nyaman bagi kita semua. Terima kasih atas dukungan teman-teman semua.

Empat ratus ribu tapi rasanya pahit :'(




Ps: untuk review Potato Head yang lebih ceria dengan foto makanan yang lebih menggairahkan, baca di blog Dila ya.

Jumat, 18 Maret 2016

Pengalaman Memakai Grab Car di Bali


Disclaimer:
Cerita ini berdasarkan pengalaman kami ke Bali tanggal 5-6 Maret 2016. Kebijakan operasional Grab atau tarif mungkin berbeda di lain waktu. Cerita ini tidak disponsori oleh Grab, kami membayar sendiri semua pengeluaran kami :)

Ketika keluarga saya dan keluarga adik saya, @diladol, akhirnya memutuskan ke Bali bareng, kami mulai kasak-kusuk mengusahakan transportasi selama kami di sana. Enaknya gimana? Sewa mobil, sewa motor, naik taksi, pakai Uber, atau pakai Grab? Tadinya adik saya sekeluarga (anaknya baru satu, ponakan saya K yang keren, umur 2 tahun) mau sewa motor saja. Sementara dari bandara ke hotel mau numpang saya naik Uber, karena kabarnya Grab Car dilarang beroperasi di bandara Ngurah Rai.


Saya tadinya mau menyewa mobil. Browsing di internet dan nanya teman, sewa mobil selama 12 jam termasuk sopir dan bensin Rp 500 ribu. Tapi setelah saya pikir-pikir, rencana kami kan nggak mau keliling ke mana-mana, cuma mau ngendon di hotel aja, jadinya sewa mobil bakalan mubazir. Sayang uangnya. Fyi, meski liburan bareng, saya dan adik saya menginap di tempat berbeda. Adik saya di hotel bintang 3 di Kuta, sementara saya dan precils di hotel bintang 5 di Canggu. Yah, sesuai tingkat kesejahteraan lah, hahaha. Menjelang hari H, ponakan K malah sakit flu, jadinya mereka memutuskan nggak jadi sewa sepeda motor. Kami putuskan mau coba pakai Uber dan Grab Car aja, sambil lihat nanti di lapangan kayak apa.

Keluarga kami mendarat di Ngurah Rai airport lebih dulu dari keluarga Dila. Ya kan Surabaya lebih dekat dari Jogja :p Sembari menunggu Dila cs, saya iseng bertanya tarif transfer dari bandara di gerai Golden Bird yang ada di area kedatangan domestik. Tarif Golden Bird ke Kuta 200 ribu, dengan mobil Avanza, jadi muat untuk kami bertujuh. Oke deh, saya cek toko sebelah dulu ya, hehe.

Setelah kami semua ngumpul, saya sudah siap-siap pakai Uber, tapi saya ragu karena di apps saya tidak bisa memilih jenis mobil. Nanti kalau dapatnya mobil kecil bagaimana? Nggak muat untuk 4 dewasa dan 3 anak. Lalu Si Ayah mencoba pesan taksi bandara di booth resmi, dekat pintu keluar. Katanya tarif dari airport ke Hotel Gemini Star di Kuta 110 ribu. Glek! Itu pun untuk mobil sedan biasa yang cuma muat berempat. Walah, mihil bingits. Mana bapaknya yang jaga galak banget. Ini gimana mau laku ya taksinya? Ketika kami masih berunding, dia teriak-teriak, "JADI PESEN APA NGGAK? KALIAN MENGHALANGI ANTREAN!" Padahal nggak ada orang di belakang rombongan kami. Good bye lah, belum juga naik taksi udah dimarah-marahi.

Akhirnya adik saya yang pintar, cekatan dan tidak sombong mencoba membuka app Grab. Aplikasi ini sama dengan app Grab Taxi di kota lain, bisa diunduh di iOS atau android. Begitu dibuka, app ini langsung tahu posisi kita. Bagian pick-up langsung terisi Ngurah Rai Airport (DPS). Tinggal memasukkan drop-off, ke mana kita ingin diantar. Adik saya memasukkan Hotel Gemini Star dan memang langsung bener lokasinya di daerah Gg Poppies II Kuta sana. Begitu lengkap pick-up dan drop-off nya, langsung kelihatan kisaran tarifnya berapa. Di app muncul Rp 25K, dari airport ke Kuta. Setelah klik "Book GrabCar" si app ini akan tuing-tuing mencarikan driver untuk kita. Gak sampai semenit langsung dapat. Begitu dapat, Dila bersorak dan langsung menelepon Pak Driver. Ternyata mobil Pak Sopir ini sudah ada di bandara, dia memberi tahu agar kami menuju ke bagian keberangkatan domestik. Mobilnya APV warna putih, nomor polisinya sudah kelihatan di app. Rombongan kami bergegas berjalan ke departure. Begitu melihat mobil APV Pak-nya, kami melambai dan mobil menepi di tempat drop off keberangkatan. Pak-nya menyapa dengan ramah. Alhamdulillah kami bertujuh muat di mobil APV yang lapang dan bersih ini. To Kuta we go!




"Untung aku tadi nyoba Grab ya," kata Dila dengan bangga. Ternyata Grab Car tetap bisa dipesan dari bandara, padahal dari berita dan blog yang saya baca, Grab dilarang beroperasi di bandara. Tapi pantas saja kalau taksi bandara merasa terancam dengan keberadaan Grab, mereka tidak bisa seenaknya sendiri melipatgandakan tarif. Saya selalu merasa dirampok dengan layanan taksi bandara. Selain kenaikan harganya sangat tidak wajar, pelayanannya pun buruk. Meski sudah membeli kupon di gerai resmi, sampai tempat tujuan masih dipalak oleh sopir. Ini terjadi tidak hanya di bandara Bali. Pinter banget ya cara Angkasa Pura menyambut turis? :|

Sementara dengan Grab Car, tarif dihitung per-kilometer, tidak terpengaruh dengan macetnya jalan. Sebelum naik, kita diberi kisaran tarif. Setelah sampai di tujuan pun, tarif tidak banyak berubah, dan driver tidak meminta uang lebih.

Dari bandara ke Kuta, kami bertujuh hanya diminta membayar 27 ribu. Murah banget kan hitungannya? Tentu kami memberi tip ke driver yang menyelamatkan kami dari taksi bandara yang overprice dan pelayanannya kasar.

Selanjutnya, saya memakai jasa Grab Car terus selama di Bali. Dari hotel Gemini Star di Kuta menuju Hotel Tugu di Canggu, saya cukup membayar 66 ribu, dengan lama perjalanan satu jam. Tentu saya memberi tip ke driver. Di rute ini, mobil yang kami naiki Avanza, masih cukup baru, bersih dan wangi. Driver ramah dan tidak banyak bicara, namun cukup pandai melewati jalan-jalan sempit di Bali, bahkan melewati jalan tembus berupa pematang sawah berkonblok menuju Canggu.

Dari Hotel Tugu sampai ke Potato Head di Seminyak, kami diantar mobil hotel. Sementara dari Seminyak ke bandara, kami kembali memakai Grab Car. Biayanya hanya 56 ribu. Kalau dihitung-hitung, total pengeluaran kami untuk Grab Car jelas lebih murah daripada kalau sewa mobil harian.

 

Di banyak tempat, saya melihat spanduk-spanduk yang menolak Grab Car dan Uber. Ada beberapa tempat yang melarang Grab dan Uber mengambil penumpang, meski mereka boleh menurunkan penumpang yang naik dari lokasi lain. Ketika saya memesan Grab di Potato Head, drivernya meminta agar tidak menyebutkan kalau dijemput Grab. Ya tinggal bilang aja dijemput driver sih, emang bener kan? Tapi nggak ada yang nanya juga :D Lagipula Grab Car nggak bisa dideteksi karena memang memakai mobil biasa.

Saya sendiri sebagai konsumen, sangat puas dan terbantu dengan adanya Grab Car. Tarifnya lebih murah dan pasti, bisa muat untuk keluarga atau rombongan, dan pelayanannya cukup bagus. Sekarang konsumen memang semakin punya pilihan, sudah waktunya perusahaan yang mengutamakan layanan ke penumpang yang menang.

Kalau kalian gimana, pakai transportasi apa selama di Bali? Ada yang punya pengalaman naik Grab Car atau Uber di Bali? Tulis di komentar ya ^_^

~ The Emak