Senin, 10 Desember 2012

The Great Great Ocean Road

Twelve Apostles
Sesuai namanya, Great Ocean Road ini memang grrrrreat! Bahasa alay-nya gr8 :p Dan cara terbaik untuk menikmatinya adalah dengan slow road trip.

Jalan sepanjang 243 kilometer ini dibangun pada tahun 1919 - 1932 oleh tentara Australia yang pulang perang dunia pertama. Rute B100 ini menyusuri pantai selatan negara bagian Victoria, dari kota Torquay sampai Warrnambool. Great Ocean Road ini alasan utama kami melakukan road trip dari Adelaide ke Melbourne. Biasanya orang-orang datang dari jalur sebaliknya: Melbourne ke Adelaide. Untuk turis yang waktunya mepet dan tidak sempat melakukan road trip, tetap bisa mengunjungi Twelve Apostles (atraksi utama di GOR ini) dengan ikut tur satu hari. Cek pilihan operator tur di website resmi pemerintah Victoria ini.

Saya tidak begitu suka ikut tur karena tidak bebas berhenti sesuka hati dan kurang nyaman kalau membawa anak-anak. Takut precils rewel dan ditimpuk orang satu bis, hehe. Dari Melbourne, 12 Apostles bisa dicapai dalam 3 jam perjalanan dengan mobil/bis. Trip satu hari biasanya berangkat dari Melbourne jam 7 pagi dan sampai kembali ke kota jam 9 malam. Atau ada juga trip yang berangkatnya lebih siang, tapi tempat perhentiannya lebih sedikit. Biasanya mereka berhenti sekitar 15 menit di tempat-tempat menarik dan sampai 45 menit khusus di Twelve Apostles. Rute perjalanannya pun tidak sampai ke Warrnambol, biasanya hanya sampai Port Campbell, beberapa menit setelah 12 Apostles (dari arah Melbourne). Harga tur ini tergantung operator dan fasilitas yang disediakan, antara $75 - $150 per orang. Sila baca blog Tesya dan blog Vicky yang pernah mengikuti tur satu hari Great Ocean Road dari Melbourne.

Kami memulai GRO ini dari Warrnambol, kota kecil yang cantik, dengan taman bermain yang bagus dan luas, dan pantai yang panjang dan indah. Pantai di Warrnambol ini juga terkenal sebagai tempat untuk melihat migrasi ikan paus. Keluarga yang ingin melakukan road trip 2-3 hari dari Melbourne, dan tidak melanjutkan ke Adelaide, saya menyarankan untuk menginap di sini.

Keluar dari Warrnambol, kami mulai benar-benar menyusuri pantai, tapi belum melihat lautnya karena terhalang semak-semak. Perhentian pertama kami adalah di Bay of Islands. Mulut saya langsung menganga lebar melihat pemandangan karang-karang yang terlepas dari induknya. Kata-kata tidak bisa melukiskan keindahan yang ada di depan mata saya *tsah* Laut di depan kami benar-benar liar, tidak heran kalau terjadi korosi dan memisahkan karang-karang kapur ini dari daratan. Angin bertiup kencang sampai membuat air laut tempias ke atas. Si Ayah buru-buru melindungi kameranya dari air asin. Little A cukup terkesan dengan pemandangan laut ini tapi Big A ogah-ogahan :p Melihat langit dengan awan hitam bergulung-gulung, kami hanya singgah sebentar di Bay of Islands ini dan segera melanjutkan perjalanan.


Banyak persinggahan yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan GRO ini, tapi kami hanya bisa memilih yang 'penting-penting' saja. Tanda tempat yang menarik sangat jelas terlihat dari jalan, dengan fasilitas tempat parkir dan kadang toilet umum. Perhentian selanjutnya adalah London Bridge. Ini bukan tiruan jembatan di London sana ya. Tadinya karang ini bernama London Arch, bentuknya mirip jembatan dengan dua lengkungan (busur) di bawahnya. Pada tahun 1990 jembatan ini runtuh, dan dua orang turis yang sedang ada di ujung harus diselamatkan dengan helikopter. Setelah kejadian itu, formasi karang ini dijuluki London Bridge, seperti lagu anak-anak Inggris yang terkenal: London Bridge is falling down... falling down...

Setelah melewati London Bridge, kami mulai banyak melihat bis-bis pariwisata yang lalu lalang, yang membawa rombongan turis dalam tur sehari. Sebelum melanjutkan perjalanan ke twelve apostles, kami melipir sejenak ke kota kecil Port Campbell untuk makan siang. Kota ini adalah kota yang paling dekat dengan Twelves Apostles, hanya 15 menit bermobil. Tapi saya tidak merekomendasikan tempat ini untuk menginap karena tidak banyak yang bisa dilihat. Tadinya kami ingin makan di restoran, tapi tidak menemukan tempat makan yang cocok (dengan selera dan kantong kami). Lalu di pinggir jalan, mata saya menangkap papan tulis di trotoar yang bertuliskan: Indomie Goreng $7. Wah, seketika saya menelan air liur. Kepala saya segera memroses 'kode' yang diberikan warung tadi. Kami merapatkan campervan di tempat parkir di tepi dermaga dan mulai memasak Indomie Goreng yang selalu kami bawa untuk keadaan darurat :D Ah, nikmatnya makan Indomie goreng dan telur ceplok di depan teluk kecil, ditemani burung-burung camar yang mencuri-curi kesempatan...

London Bridge (is falling down)
Bis nya tenggelam di semak-semak :p
Dari awal perjalanan kami melewati rute B100, langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan tersenyum. Awan-awan hitam terus-menerus menghantui perjalanan kami. Setelah makan siang istimewa di Port Campbell, kami melanjutkan perjalanan dan singgah di Loch Ard Gorge.

Gorge atau ngarai sempit ini dinamai sama dengan kapal yang kandas di sini pada tahun 1878. Kapal Loch Ard ini mengakhiri tiga bulan perjalanannya dari Inggris menuju Melbourne. Dari 54 penumpang hanya ada dua yang selamat: Tom (15 tahun) dan Eva (17 tahun), imigran dari Irlandia. Kita bisa turun ke pantai di gorge tempat Tom dan Eva bertemu. Sayangnya kami tidak sempat turun karena harus menuntaskan perjalanan sampai ke Twelve Apostles, sebelum hujan turun!

Loch Ard Gorge
Hanya sekitar sepuluh menit dari Loch Ard Gorge, kami sampai juga di destinasi jalan-jalan yang sudah saya kami idam-idamkan sejak lama. Tempat parkir untuk melihat formasi karang yang populer ini sangat luas. Kios informasinya pun sangat bagus, dilengkapi dengan cafe yang menjual kopi, camilan dan suvenir dan tentu dilengkapi toilet yang bersih dan nyaman. Dari jauh kami mendengar raungan helikopter yang melayang-layang di udara. Naik helikopter adalah salah satu cita-cita saya yang belum tercapai. Mahal banget Kak! Untuk terbang sekitar 15 menit, kita perlu merogoh kocek $145 per orang atau sekitar satu setengah juta rupiah. Masih tertarik? Boleh intip website operator helikopter di sini.

Untuk menikmati pemandangan Twelve Apostles, kita harus menyeberang melewati terowongan di dekat kios informasi. Begitu sampai di look out, mata saya menyaksikan pemandangan yang sudah biasa saya lihat di kartu pos dan brosur dan website, hanya saja kali ini benar-benar nyata, tiga dimensi. Formasi batu karang ini memang menakjubkan, dengan latar belakang tebing merah, pantai keemasan, laut biru dan alam sekitarnya yang terjaga. Kalau saja langit cerah, kami bisa menyaksikan sunset yang sangat menawan dari titik ini. Tapi karena awan mendung bergulung-gulung, foto-foto yang kami hasilkan pun tidak seindah warna aslinya. Saya sudah cukup bersyukur bisa menyaksikan pemandangan menakjubkan ini tanpa hujan. Kalau sampai hujan, duh, bisa hancur karir saya sebagai travel blogger, hehe.

Selain pemandangan alamnya yang memang mengagumkan, saya juga kagum pada kehebatan departemen pariwisata Victoria mempromosikan salah satu ikon Australia ini. Dulunya, formasi karang ini dinamai Sow and Piglets (Babi dan anak-anaknya). Tapi karena dirasa kurang menguntungkan untuk pariwisata, pada tahun 1922 mereka memberi nama baru: The Apostles. Akhirnya agar lebih komersil, formasi karang ini dinamai Twelve Apostles, seperti jumlah murid Yesus, meskipun karangnya sendiri hanya sembilan. Sekarang kita hanya bisa melihat tujuh karang karena satu karang runtuh pada tahun 2005 dan satu lagi runtuh tahun 2009. Yang belum sempat dan ingin menyaksikan keindahan alam ini, sebaiknya cepat-cepat datang sebelum karang-karang yang lain runtuh. Kecepatan erosi di laut ini sekitar 2cm per tahun. 

Saya sendiri masih bercita-cita untuk melakukan trekking Great Ocean Walk, agar bisa menyibak keindahan dari balik semak dan turun ke pantainya yang keemasan. Sementara ini, baru bisa bermimpi sambil mengintip website Great Ocean Walk.

Kios Informasi di Twelve Apostles
Twelve Apostles
Setelah puas menikmati keindahan twelve apostles, titik hujan mulai turun. Saya mengajak The Precils berlari menuju kios informasi, yang untungnya masih menyediakan kopi panas untuk menghangatkan suasana. Sore dan malam itu kami melanjutkan perjalanan menembus hutan Otway dalam hujan lebat. Saya sampai takut sekali melalui jalan berliku di hutan karena jarak pandang yang cuma beberapa meter. Sudah jam tujuh malam ketika kami sampai di Apollo Bay dan belum juga menemukan caravan park untuk parkir. Agak kapok sampai ke caravan park malam-malam, karena susah melihat rambu jalan bergambar caravan park berwarna biru. Akhirnya kami menemukan juga Pisces Caravan Park dan cek in di menit-menit terakhir sebelum resepsionis tutup.

Kakatua bebas beterbangan di pantai Lorne

Apollo Bay cukup cantik untuk dijadikan tempat menginap, asal cuaca cerah :) Kami tidak begitu beruntung, dihantam badai sepanjang malam dan masih ada sisa gerimis esok harinya ketika kami cek out. Untungnya Tuhan berbaik hati menghadiahi kami langit yang cerah, sebentar saja ketika kami istirahat makan siang di Lorne.

Lorne adalah kota kecil tepi pantai yang sangat cantik, mengingatkan saya pada satu strip jalan di pinggir pantai Bondi. Di sini ada taman bermain yang sangat luas, dengan berbagai macam permainan menarik. The Precils betah sekali di sini. Saya juga lumayan betah meskipun harus memasak makan siang (biasa, Si Ayah tidak mau keluar uang untuk beli makan di warung) dari dalam campervan dan makan di mobil. Nggak masalah sih, karena pemandangan dari campervan yang kami parkir di tepi pantai ini sungguh menarik: burung kakatua yang kasmaran, burung-burung centil berwarna pink yang melompat-lompat lucu, dan orang-orang yang berjalan di atas air (stand up paddle surfing). Kalau sempat menjelajah GOR ini, saya akan memilih menginap di kota ini.

Jogging track di Torquay
Torquay adalah kota di ujung rute Great Ocean Road. Kami menginap semalam di sini sebelum esok harinya melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Sepanjang perjalanan dari Lorne ke Torquay kami disuguhi pemandangan indah, setiap belokan memunculkan kejutannya sendiri. Rute ini memang dibangun di sepanjang pantai sehingga kita bisa melihat keindahan pantai, inlet, muara sungai sambil berkendara. Panjangnya road trip tidak terasa kalau kanan kiri ada yang sedap dipandang. Kata Si Ayah, "Aku rela sepuluh hari jadi sopir kalau pemandangannya seindah ini setiap hari."

Kode untuk merencanakan road trip lagi? :p

 ~ The Emak

Senin, 03 Desember 2012

[Penginapan] Caravan Park Adelaide - Melbourne

Lake Albert Caravan Park
Tidak seperti biasanya, dalam road trip campervan kali ini, saya tidak ribet booking penginapan lebih dulu. Karena kami jalan-jalannya di low season, bukan musim liburan, kami bisa langsung menginap tanpa memesan terlebih dahulu di semua caravan park yang kami singgahi di jalan.

Dalam road trip Adelaide - Melbourne kali ini, kami menginap delapan malam di caravan park dan satu malam terakhir di hotel dekat bandara (Holiday Inn Melbourne Airport). Hanya hotel yang sudah kami pesan lebih dulu di websitenya. Sisanya, saya siapkan saja pilihan caravan park di kota-kota yang singgahi sepanjang perjalanan. Mencari caravan park ini bisa dengan bantuan google, atau mengunjungi tiga website grup caravan park di Australia: Big 4, Top Tourist Parks dan Discovery Holiday Parks, yang punya banyak caravan park, tersebar di seluruh penjuru Australia. Saya tidak fanatik dengan salah satu brand caravan park, yang penting lokasinya pas karena standard mereka sudah bagus.

Tiga malam pertama, kami menginap di tiga caravan park yang berbeda di Kangaroo Island. Malam-malam berikutnya, kami menyusuri garis pantai Australia Selatan dari Adelaide ke Melbourne.

Ketika menyusun itinerary perjalanan ini, saya tidak punya bayangan kota Meningie itu seperti apa. Saya belum pernah mendengar nama kota kecil ini, bahkan di buku panduan. Agak cemas juga menginap di tempat asing, tapi Meningie ini titik istirahat yang pas dari perjalanan hari keempat dari Cape Jervis melewati Victor Harbor dan Strathalbyn. Ternyata, menginap di Meningie ini melebihi harapan saya. Di sini kami menyaksikan sunset dan sunrise di tepi danau, dari belakang campervan kami. Siapa yang tidak bahagia, makan malam dan sarapan dengan pemandangan seperti ini, tapi cukup membayar 1/4 dari harga hotel biasa.

Hari sudah senja ketika kami sampai di Lake Albert Caravan Park. Si Ayah mengurus cek in di resepsionis, yang ternyata memakan waktu yang sangat lama. Resepsionisnya nenek-nenek yang ramah dan suka mengobrol. Jadi perlu waktu setengah jam untuk melayani dua orang yang cek in di depan antrean Si Ayah. Duh, si Nenek ini bikin gemes karena Si Ayah niatnya ingin memotret sunset yang sudah memerah di tepi danau, keburu sunset-nya hilang. Akhirnya kami berhasil cek in juga dengan tarif $48 (untuk berempat) di lokasi tepi danau (lake front). Danau Albert benar-benar hanya sepuluh langkah dari pintu campervan kami.

Saya suka tempat ini, bersih, rapi dan cantik. Ada dua tempat sampah untuk masing-masing site, satunya untuk sampah daur ulang. Hati saya jadi riang, sampai sempat memasak spaghetti jamur untuk the precils :) Kami makan malam cepat-cepat di tepi danau sebelum nyamuk dan serangga malam datang, sambil memandang sunset yang akan terus kami kenang.

Di caravan park kami harus berbagi kamar mandi dan toilet dengan penghuni yang lain. Jangan khawatir, semua kamar mandi di sini, meskipun digunakan bersama, selalu dalam keadaan bersih. Tentu karena sesama pengguna menjaga kebersihan. Tidak seperti di rumah, saya selalu mandi pagi-pagi banget agar mendapatkan bilik kamar mandi yang masih belum dipakai, yang masih kering. Lazimnya di sini, setelah selesai mandi, kita diminta untuk mengepel lantai kamar mandi agar siap digunakan oleh yang lain. Tongkat pel disediakan di sudut. Mandinya memang hanya shower (pancuran), tapi nyaman banget karena pakai air panas. Cukup menyegarkan setelah semalaman meringkuk dalam kantung tidur.


Sunset dari belakang campervan kami
Matahari terbit
Kota kecil berikutnya yang kami singgahi adalah Robe. Di sini kami menginap di Robe Discovery Holiday Park, yang letaknya di pinggir pantai Long Beach. Tarif menginap semalam di powered site adalah $51, tapi kami mendapat diskon 10% karena menggunakan campervan Apollo, jadi tinggal membayar $45,90 untuk berempat. Kami sampai di Robe pada jam makan siang. Setelah jalan-jalan di kotanya yang kecil dan tidak menemukan restoran yang pas, kami memutuskan untuk barbekyu-an di caravan park. 

Biasanya di setiap caravan park ada fasilitas barbekyu, ada yang gratis (tinggal pencet tombol untuk menyalakan), ada juga yang harus bayar dengan koin (satu atau dua dolar). Bentuk mesin barbekyu ini biasanya kotak seperti tungku dari batu bata, atasnya ada wadah seperti baki alumunium. 'Baki' inilah tempat untuk memanggang, menjadi panas setelah kita memencet tombol di bawahnya.Tinggal letakkan bahan yang ingin kita panggang: potongan ayam, daging sapi, domba, kebab (sate), sayuran, dll. Kami biasanya menggunakan semprotan minyak zaitun agar hasil barbekyu lebih sedap (selain karena praktis). Karena digunakan bersama, kita harus membersihkan mesin ini setelah selesai memakai. Kadang kami menjumpai mesin barbekyu yang tidak bersih. Ini agak menjengkelkan, tapi bagaimana lagi, harus selalu dibersihkan sebelum dipakai. Bagi yang khawatir barbekyu ini digunakan untuk memanggang babi, setelah dibersihkan bisa melapisinya dengan aluminium foil. Tapi tentu saja rasanya tidak sesedap kalo dagingnya ada kontak langsung dengan 'baki' :p

Sorenya, setelah cuci-cuci baju di laundry koin, kami jalan-jalan di pantai yang jaraknya cuma tiga menit jalan kaki, tinggal menyeberang jalan. Pantai yang cantik ini sepi sekali, hanya ada satu-dua orang yang jogging melewati kami. Selebihnya ini menjadi pantai pribadi kami :) Kami tidak tahu kalau sunset ini adalah sunset terakhir yang bisa kami nikmati dalam cuaca cerah. Karena malamnya, kami harus berusaha tidur dalam guncangan badai.

makan siang di Robe Discovery Park
Jalan menuju Long Beach
Dari Robe, kami menuju Port Fairy, perjalanan terpanjang dalam rute Adelaide-Melbourne kami. Sebenarnya, tadinya kami ingin menginap di Portland, kota sebelum Port Fairy. Tapi ternyata Portland kotanya nggak asyik, terlalu banyak truk bermuatan yang lalu-lalang di jalan. Akhirnya kami berkendara satu jam ekstra untuk mencapai Port Fairy, kota yang lebih kecil dan lebih tenang. 

Menginap semalam di Port Fairy Gardens Caravan Park dikenakan tarif $48,90 untuk berempat. Caravan park ini letaknya di pinggir sungai. Sore hari kami kurang bisa menikmati Port Fairy karena cuaca mendung dan akhirnya hujan. Agak sengsara juga kalau hari hujan ketika kami sudah cek in di caravan park. Yang bisa dilakukan adalah membaca buku, mendengarkan musik, main iPad, sambil ngemil dan membuat hot chocolate. Kami membuka meja yang ada di tengah campervan.

Kamar mandi umum sebenarnya tidak jauh dari campervan kami, tapi kalau hari hujan, dengan rerumputan yang becek, jarak 50 meter rasanya jauh sekali. Apalagi kalau sudah di depan pintu toilet dan lupa kode yang harus dipencet di tombol. Tambah sengsara!

Pagi harinya untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. The precils senang punya sarapan spesial, pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island. Cuaca cerah sebentar ketika kami cek out dan jalan-jalan sebentar menjelajah Port Fairy. Hari ini bakal istimewa karena kami akan singgah di Twelve Apostles di Great Ocean Road, salah satu alasan kami melakukan perjalanan ini. Sambil terus berdoa supaya cuaca membaik.


Tetangga kami di Port Fairy
Danau di sebelah Caravan Park
Siang harinya, kami cukup diberi cuaca setengah cerah sepanjang perjalanan di Great Ocean Road. Awan menggulung, matahari mengintip sedikit, tapi tidak hujan. Tadinya kami ingin bermalam di Port Campbell, lima belas menit sebelum Twelve Apostles dari arah barat, tapi kotanya tidak terlalu menarik dan tidak banyak yang bisa dilihat. Akhirnya setelah makan siang di tepi dermaga di Port Campbell, dan singgah sejenak di 12 Apostles, kami menembus hutan dan sampai di Apollo Bay jam tujuh malam. Cuaca sangat buruk ketika kami menembus hutan, dan dalam kota yang gelap, kami agak kesusahan mencari tanda caravan park. Begitu menemukan Pisces Holiday Park dan berhasil cek in, saya luar biasa lega.

Tarif semalam di caravan park yang masuk grup Big 4 ini adalah $49. Kami memilih parkir di lantai cor, bukan rerumputan agar tidak kena becek. Sayangnya tempat ini jauh dari toilet. Saya cuma bisa memandang iri pada tetangga yang parkir di sebelah kami, campervan Maui yang dilengkapi dengan toilet. Toilet di sini pun cukup 'seram' karena menempati bangunan lama yang cukup luas. Ketika saya masuk kamar mandi, hanya ada saya seorang diri, tapi pihak caravan park menyalakan radio lokal yang menyiarkan salam-salam dan lagu-lagu 'daerah'. Maksudnya mungkin agar tidak merasa kesepian di dalam toilet, tapi saya malah sedikit ketakutan dan bahkan tidak berani melihat diri saya di kaca besar ketika cuci tangan di wastafel.

Sebenarnya lokasi Pisces Holiday Park ini bagus, di tepi pantai Apollo Bay, hanya tinggal menyeberang jalan. Tapi karena cuaca tidak mendukung, kami kurang bisa menjelajah kota tempat kami singgah ini. Perjalanan kami lanjutkan menuju Torquay, kota terakhir sebelum kami sampai Melbourne. Dalam perjalanan, kami singgah untuk makan siang di kota kecil yang cantik, Lorne.


'dementor' di atas Pisces Caravan Park
Torquay mendapat julukan Surf Capital of Australia dan juga tempat lahir brand terkenal Billabong. Setelah mendapatkan peta lokal di kios informasi, kami memilih menginap di Torquay Caravan Park yang terletak di pinggir pantai Torquay Surf Beach, tapi tidak jauh dari kota. Caravan park satu ini sangat luas, tapi tampaknya sedang dalam perbaikan. Beberapa blok ditutup, membuat kami berputar-putar mencari lokasi, meskipun sudah berbekal peta dari resepsionis. Banyak kabin-kabin tua yang dibangun dari caravan yang sudah tidak layak jalan. Beberapa blok di pojok terlihat tidak terawat. Mungkin karena itu tarif menginap di sini terhitung murah, hanya $31 per malam untuk sekeluarga.

Ketika sampai di lokasi kami yang pertama, ternyata toilet di dekat kami tidak berfungsi. Akhirnya kami mencari lokasi lain dengan toilet yang tidak rusak, dan parkir persis di seberangnya. Lumayan, kalau mau mandi tinggal melompat dari campervan.

Lucunya, mandi dengan air panas di sini dibatasi hanya 4 menit. Sebelum mandi, kita harus menekan tombol (di luar bilik) untuk menyalakan air panas. Setelah empat menit, air panas akan berhenti mengalir dan tinggal air dingin saja. Trik nya tentu saja dengan mempersiapkan segala sesuatu sebelum memencet tombol. Saya yang kalau mandi cukup lama (apalagi dengan air panas) agak repot dengan aturan ini. Empat menit di bawah pancuran rasanya sebentar banget. Tapi tantangn ini bisa saya selesaikan dengan baik. Saya sudah bersih dari sabun ketika air dingin mulai mengalir :p


Tantangan berikutnya adalah cek out sebelum jam 10 pagi. Kami diberi kode untuk membuka boom gate di gerbang depan. Lewat dari jam 10 pagi, kode ini sudah tidak berlaku lagi dan kami tidak bisa keluar. Untungnya The Precils bisa diajak kompromi. Kami bahu membahu membereskan campervan dan berhasil melewati boom gate tepat dua menit sebelum jam sepuluh!

Torquay Caravan Park

Parkir dekat toilet :)

Kami keluar dari kota Torquay, mengucapkan selamat tinggal pada Great Ocean Road dan membayangkan tidur nyaman di kasur empuk di Holiday Inn Melbourne Airport.

~ The Emak

Senin, 26 November 2012

Road Trip Adelaide - Melbourne

Pemandangan spektakuler di tengah jalan menuju Meningie di Australia Selatan
Seribu lima ratus kilometer, sepuluh hari, dua negara bagian, dua pulau, dua belas kota, dua dewasa plus dua precils, satu campervan!

Road trip kali, dari Adelaide ke Melbourne lebih panjang dan lama daripada beberapa road trip sebelumnya. Perjalanan ini sekaligus untuk mengucapkan selamat tinggal (semoga hanya sementara) pada Australia, yang sudah menjadi tuan rumah yang baik selama kami tinggal 5,5 tahun di sini.

Road trip kami mulai di Adelaide, ibukota negara bagian Australia Selatan. Sebelum melanjutkan menyusuri pantai selatan mainland Australia, kami sempatkan tiga hari menjelajah Kangaroo Island, di sebelah barat daya Adelaide. Pengalaman fantastis kami di Kangaroo Island sudah saya ceritakan di tulisan ini. Baru di hari keempat, kami kembali menyeberang ke mainland dan menyusuri kota-kota kecil di sepanjang garis pantai selatan Australia, melewati Great Ocean Road, dan berakhir di Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 1500 km dan ditempuh dalam 10 hari dengan campervan.

Keunggulan jalan-jalan dengan road trip, kita tidak hanya disuguhi 'tujuan wisata' atau obyek wisata-nya saja, tapi bisa menikmati kejutan-kejutan di tengah perjalanan. Berdasar pengalaman kami, pemandangan atau fakta yang menakjubkan lebih sering kami temui di jalan atau di kota kecil yang belum pernah kami dengar namanya :)

Rute Road Trip Adelaide - Melbourne
Hari 1 
(A) Adelaide - (B) Cape Jervis: 107 km, 2 jam
(B) Cape Jervis - Penneshaw: menyeberang dengan feri, 45 menit

Hari 2
Penneshaw - Seal Bay - Vivonne Bay - Western KI

Hari 3  
Western KI - Parndana - Kingscote

Hari 4
Kingscote - Penneshaw - Cape Jervis
(B) Cape Jervis - (C) Victor Harbor: 60 km, 50 menit
(C) Victor Harbor - (D) Meningie: 141 km, 2 jam 15 menit

Setelah tiga malam menginap di pulau, kami menumpang feri Sea Link dari Kangaroo Island kembali ke mainland Australia. Pukul 11.15 kami sudah mendarat di Cape Jervis lagi. Si Ayah masih harus mengeluarkan campervan dari perut feri, sementara kami menunggu di pinggir jalan. Campervan keluar berbarengan dengan truk-truk besar berisi sapi-sapi. Aroma tahi sapi yang 'sedap' menebar ke mana-mana. Bahkan ada beberapa yang menempel di campervan kami. Yuck! Kenang-kenangan dari Kangaroo Island ini terpaksa kami bawa sampai hari berikutnya ketika ada kesempatan 'cuci mobil sendiri' di pom bensin.

Tujuan kami selanjutnya adalah Victor Harbor, sebuah kota kecil nan cantik, yang bisa ditempuh kurang dari sejam dari Cape Jervis. Di sini kami membeli makan siang di toko Original Fish & Chips untuk dimakan di tepi pantai. Fish & Chips di sini konon terbaik (nomor dua) di South Australia :) Memang enak sih, sampai-sampai burung-burung camar di pinggir pantai berebut ingin makan. Cuaca hari itu sangat berangin dan lumayan dingin. Fish & chips panas cukup menghangatkan perut kami.

Ada satu atraksi wisata yang terkenal di Victor Harbor ini: trem yang ditarik dengan kuda. Trem ini melintasi trek jembatan kayu sepanjang 600 m dari mainland menuju Granite Island. Atraksi ini buka setiap hari mulai pukul 10.30 pagi sampai jam 3.30 sore. Tiket pp untuk dewasa $8, anak-anak $6 dan keluarga $22. Sayangnya kami tidak sempat naik karena tidak cukup waktu, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kesorean sampai di Meningie, tempat kami menginap.

Setelah numpang pipis di toilet umum yang bersih dan nyaman, saya menuju kios informasi, untuk mengambil peta dan menanyakan tentang feri yang harus kami naiki untuk menuju Meningie. Saya benar-benar penasaran dengan feri sungai ini. Ketika saya buka Google Maps, ada sungai kecil yang harus dilewati, dari Victor Harbor menuju Meningie. Tapi tidak ada keterangan tentang jadwal, cara bayar, dan lain-lain. Petugas informasi meyakinkan saya bahwa feri itu ada sepanjang hari, gratis dan bisa dinaiki oleh campervan kami.

Ternyata memang benar, setelah belanja di Woolworths dan numpang pipis di kota kecil Strathalbyn, kami sampai di mulut Murray River. Di sana feri, yang ternyata hanya seperti jembatan penyeberangan yang berjalan, sudah bersiap. Kami tinggal melanjutkan menyetir sampai campervan naik ke feri tersebut. Satu kali penyeberangan hanya cukup untuk tiga mobil. Petugas pun menyeberangkan kami, selamat sampai ke seberang. Kalau di Indonesia, mungkin mirip dengan perahu tambang (tambangan) yang juga digunakan untuk menyeberangi sungai, tapi hanya cukup untuk orang dan sepeda motor.

Saya lega sekali setelah berhasil menyeberang Murray river, dan mengucap terima kasih kepada petugas operator feri. Setelah itu, dari Wellington East menuju Meningie, kami disuguhi pemandangan dahsyat sepanjang perjalanan. Di sebelah kanan kami ada sinar matahari yang menembus awan yang bergulung-gulung. Si Ayah sudah gatal ingin berhenti dan memotret, sebelum cahaya itu tenggelam di balik awan. Tapi Big A tidak mau kami berhenti karena takut kemalaman di perjalanan. Akhirnya setelah melewatkan banyak momen indah untuk difoto, Si Ayah menepikan campervan sebentar di tepi perairan. Saya menenangkan the precils dengan berbagi lolly :) 

Sore yang indah ini ditutup dengan cantik, menikmati senja yang memesona di tepi Lake Albert, Meningie, tempat campervan kami diparkir.

Trem yang ditarik kuda
Melintasi jembatan
Feri penyeberangan
senja di Meningie

Hari 5
(D) Meningie  - (E) Robe: 188km, 2 jam

Kami belum pernah mendengar tentang kota kecil ini sebelumnya, dan tidak ada di brosur wisata, tapi Meningie meninggalkan kesan yang indah bagi kami. Senja yang cantik dan pagi yang anggun di Lake Albert, yang bisa kami nikmati bahkan dari dalam campervan.

Dari Meningie, kami melanjutkan perjalanan ke Robe, melalui Coorong dan Kingston. Di google maps, saya melihat jalan sepanjang wilayah coorong ini ada di tepi laut. Saya sudah membayangkan bakal menyaksikan pemandangan yang indah. Tapi ternyata lautnya tidak kelihatan karena terhalang oleh bukit-bukit. Sebenarnya kalau mau menjelajah, di sini ada Coorong National Park, yang bisa dicapai dengan melipir dari jalan utama. Pantai-pantai cantik di Coorong paling bagus dinikmati dengan perahu.

Kota Kingston di sebelah utara Robe, terkenal dengan patung lobster raksasa nya. Ada hal unik (dan menggelikan sebenarnya) di Australia, untuk menampilkan hasil panen atau kekhasan daerahnya, mereka membangun patung besar, yang dikenal sebagai Australia's Big Things. Kami baru melihat tiga: Big Merino di Goulburn (jalan menuju Canberra), Big Prawn di Ballina (dekat Byron Bay), dan Big Oyster di Taree. Saya sama sekali tidak ingat tentang Big Lobster di Kingston sampai kami melewatinya. Little A ingin kembali ke sana untuk melihat, tapi sayang kami harus tetap melanjutkan perjalanan. 

Di pinggiran Kingston, kami membeli bensin dan sempat membersihkan kaca mobil dari tahi sapi yang menempel. Di Australia, bensin harus kita isikan sendiri, baru membayar jumlahnya di kios sebelah. Di pom bensin biasanya ada fasilitas isi air radiator, bersih-bersih kaca, dan tambah angin ban, semua harus kita lakukan sendiri.

Kami sampai di Robe siang hari, saat makan siang. Setelah mampir sebentar di kios informasi, yang jadi satu dengan perpus kota, kami jalan-jalan mengelilingi kota kecil ini. Kotanya benar-benar kecil, hanya ada dermaga kecil, taman bermain pinggir pantai, gereja tua, bekas penjara lama dan tugu obelisk. Tidak menemukan tempat yang asyik untuk makan siang, kami akhirnya memilih barbekyuan di caravan park.

Barbekyu kami cukup sukses, meskipun nasinya tidak begitu sempurna karena dimasak tanpa rice cooker. Lokasi caravan park kali ini cukup strategis, hanya tiga menit jalan kaki menuju pantai Long Beach. Ketika kami main ke pantai ini, suasananya sepi sekali, hanya ada dua orang yang melintas jogging. Setelah itu, pantai yang membentang panjang dan berpasir putih ini milik kami pribadi. Saya membawa dua kursi lipat agar bisa duduk-duduk, minum, makan camilan sambil menikmati matahari terbenam. Si Ayah sibuk memotret, sementara Little A berjoged dan berlarian gak karuan, seolah pantai ini tidak ada ujungnya. Satu momen yang manis, sebelum akhirnya badai datang, mengguncang campervan kami malam-malam.

Untungnya kami sempat keluar makan malam sebelum badai datang. Malam hari, kota Robe tampak lebih sepi lagi. Cuma ada beberapa restoran yang buka. Pilihan kami adalah fish & chips (lagi). Saya senang mencoba fish & chips di setiap kota yang kami datangi, ingin tahu apa kekhasan masing-masing daerah. Fish & Chips kali ini dilengkapi oleh salad yang tidak biasa, dengan potongan bit (umbi berwarna merah) dan nanas. Juga ditambah dengan salad makaroni. Hanya ada kami yang membeli fish & chips malam itu. Setelah kami selesai makan di emperan, warung itu tutup :)

Malamnya, badai mengguncang campervan kami, seperti kena gempa kecil. Saya sampai memaksa Si Ayah untuk mengubah arah parkir kami menjadi malang melintang, agar sejajar dengan arah angin. Lumayan, campervan-nya jadi semakin sedikit bergoyang.

Robe Obelisk
Senja di 'pantai pribadi'
Badai di Robe
Hari 6
(E) Robe - (F) Mount Gambier: 131 km, 1 jam 30 menit
(F) Mount Gambier - (G) Portland  116 km, 1 jam 30 menit
(G) Portland - (H) Port Fairy: 72,3 km, 1 jam

Rupanya, senja di pantai Long Beach, Robe adalah senja terakhir dalam cuaca kalem. Hari-hari berikutnya, kami dihantam badai yang ketika kami baca di berita, merupakan badai besar di kawasan pantai-pantai Australia Selatan.

Pagi-pagi kami sudah cek out dari Robe dan bergegas menuju Mount Gambier, melewati kota kecil Millicent. Kami berencana mencari sarapan di kota ini, sekaligus berbelanja bahan-bahan segar. Ternyata restoran masih banyak yang tutup. Akhirnya kami makan di Subway ditemani gerimis yang terlihat di jendela. Di IGA Millicent, supermarket semacam Alfamart/Indomaret, kami menemukan nasi instant, yang memasaknya tinggal di-microwave saja. Ah, rasanya senang ketemu nasi beneran :D

Kami melanjutkan perjalanan meskipun cuaca tidak bersahabat. Mendung menampilkan pemandangan dramatis: kebun anggur yang tinggal pokoknya, kebun Canola yang selesai dipanen, kuda-kuda yang diberi selimut dan hutan cemara yang panjangnya berkilometer-kilometer. Cocok banget dengan lagu naik gunung, kiriii kanan, kulihat saja, banyak pohon cemaraaaa aaa... Saya penasaran sekali, industri apa yang membutuhkan pohon cemara sebanyak ini? Sampai akhirnya ada truk besar yang melintas dengan tulisan Kimberley Clark. Ah, sepertinya saya kenal betul merk ini, berhubungan dengan kami sehari-hari, tapi apa ya? Misteri ini terpecahkan ketika kami berhenti sejenak di pom bensin dekat perbatasan South Australia dan Victoria. Saya masuk ke toilet perempuan dan menemukan tulisan Kimberley Clark di wadah tisu. Pantas saja saya merasa kenal betul dengan merk ini. Kimberley Clark adalah produsen tisu Kleenex, pembalut wanita Kotex, dan popok Huggies. Jadi orang-orang di Australia ini (dan juga kita konsumen produk Kimberley Clark) turut serta membabat hutan cemara setiap kali memakai tisu :)

Mount Gambier yang masih termasuk negara bagian South Australia adalah kota industri, yang menghubungkan SA dengan dermaga Portland di Victoria. Di kota ini, banyak sekali truk-truk bermuatan yang berseliweran di jalan raya. Tapi jangan bandingkan dengan truk-truk yang ada di Indonesia ya. Yang di sini minimal rodanya 12, masih sanggup berlari kencang bahkan di jalan menanjak. Di Australia, perputaran produknya cukup efisien antar negara bagian. Ada satu danau cantik di kota ini, dikenal dengan nama Blue Lake. Kami sempat mampir ke sini, tapi hanya memandang sekilas, karena cuaca sangat dingin dan gerimis tetap turun. Tadinya, ketika merancang itinerary, saya hampir saja ingin menginap di sini, untungnya saya batalkan, karena kurang nyaman menginap di kota industri.

Kota selanjutnya adalah Portland. Kami sudah meninggalkan South Australia dan masuk ke negara bagian Victoria. Saya menanti-nanti melintasi perbatasan ini, berharap ada tugu selamat datang yang megah yang bisa saya foto. Tapi ternyata tidak ada, hanya ada papan petunjuk kecil, bahwa ini sudah masuk wilayah Victoria. Australia kalah sama Indonesia untuk urusan tugu selamat datang :)

Portland tidak begitu menarik bagi kami, isinya truk-truk besar dari dan ke pelabuhan. Saya dan Si Ayah juga ilfil mau menginap di caravan park sekitar sini. Akhirnya kami setuju untuk menginap di Port Fairy, satu jam dari sini, setelah istirahat dan makan siang di... Mc Donald.

Setidaknya kami bisa pakai free wifi. Cukup nyaman beristirahat di sini, dan Little A pun senang dapat balon, kurang apa lagi? Saya sebenarnya kasihan lihat Si Ayah yang harus menyetir banyak hari ini, merupakan rute terpanjang selama kami ber-campervan. Untung lah kami sampai di Port Fairy dengan selamat meski cuaca belum juga berubah. Kami tidur ditemani gerimis di caravan park. Rasanya malas sekali kalau harus pergi ke toilet menembus hujan.


Pohon fotogenik
Pembangkit listrik tenaga angin
Blue Lake, Mount Gambier

Hari 7
(H) Port Fairy - (I) Warrnambol: 28,6 km, 30 menit
(I) Warrnambol - (J) Port Campbell: 64,8km, 1 jam
(J) Port Campbell - (K) Apollo Bay: 96,1km, 1 jam 30 menit

Paginya, untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. Pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island ini cukup membuat gembira the precils (dan ortunya). Di Port Fairy kami sempat mampir ke waterfront-nya, yang berupa karang-karang dengan ombak yang sangat ganas. Tampak beberapa warga senior yang bersepeda menyusuri jalur tepi laut.

Kota perhentian kami selanjutnya adalah Warrnambol, yang cukup asyik sebenarnya untuk dijadikan tempat menginap. Banyak garis pantai dengan pasir putih yang dijadikan tempat untuk melihat ikan paus. Banyak taman bermain lokal yang bagus dan luas. Tempat ini cocok dijadikan alternatif tempat menginap kalau mau road trip melintasi Great Ocean Road.

Great Ocean Road adalah jalur jalan di tepi pantai sepanjang 243 km, dari kota Warrnambol di sebelah barat sampai kota Torquay di sebelah timur. Di sepanjang jalur ini, banyak sekali tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, antara lain yang paling terkenal adalah Twelve Apostles, formasi karang di tepi pantai, yang sebenarnya tidak berjumlah 12.

Road Trip melewati Great Ocean Road saya ceritakan di tulisan ini.

Mendung yang bikin deg-deg-an
Hari 8
(K) Apollo Bay - (L) Lorne 44,7km, 45 menit
(L) Lorne - (M) Torquay 46,9km, 46 menit

Hari 9
(M) Torquay - (N) Melbourne: 93,7km, 1 jam 20 menit
(N) Melbourne - (O) Melbourne Airport: 23,7 km, 25 menit

Hari 10
Melbourne Airport (O) - INDONESIA

Lorne
Pelangi
 ~ The Emak

Senin, 19 November 2012

[Penginapan] Caravan Park di Kangaroo Island

KI Shores Caravan & Camping
Jalan-jalan dengan caravan, campervan atau camping sudah menjadi gaya hidup di Australia, bukan sesuatu yang aneh atau mewah. Gaya liburan seperti ini didukung fasilitas caravan park yang mudah ditemui di setiap daerah di negara ini.

Caravan Park, atau yang sering disebut Holiday Park dan Tourist Park adalah akomodasi untuk 'memarkir' caravan/campervan atau mendirikan tenda. Fasilitas standar yang ada adalah colokan listrik (power), kran air bersih, kamar mandi dan toilet umum, laundry, dapur umum serta tempat barbekyu. Caravan park yang lebih 'mewah' dilengkapi taman bermain atau bahkan kolam renang. Mereka biasanya juga punya kabin atau unit kamar sederhana, yang fasilitasnya mirip dengan motel. 

Ada tiga grup besar yang menjadi operator caravan park di Australia: Big 4, Top Tourist Parks dan Discovery Holiday Parks. Mereka punya park yang tersebar di seluruh Australia, biasanya di pinggir pantai, tepi danau/sungai atau dekat dengan tempat wisata. Holiday Park ini jarang sekali yang lokasinya di tengah kota besar. Kalau ingin dapat diskon, daftar aja jadi member di grup mereka, bisa secara online kok. Atau biasanya kalau kita menyewa campervan, akan otomatis mendapat diskon di beberapa caravan park yang bekerja sama.

Kami pertama kali mencicipi Holiday Park ketika menginap di Te Anau, New Zealand. Waktu itu kami memesan kabin dengan kamar mandi dalam, belum berani naik campervan, berkemah atau bahkan sekedar sharing kamar mandi :) Saya ingat, tidak bisa menyembunyikan kekagetan ketika berkenalan dengan keluarga dari Amerika Serikat yang membawa dua anaknya yang masih balita, keliling Selandia Baru dengan... berkemah! Gile bener, pikir saya. Tapi setelah merasakan sendiri asyiknya berkemah di Holiday Park, suatu saat kami pun ingin berkeliling New Zealand dengan hanya mendirikan tenda :) Saran saya untuk yang ingin jalan-jalan dengan campervan tapi belum berani, coba dulu menyewa kabin di salah satu holiday park. Coba semua fasilitas yang ada. Kalau merasa nyaman, baru lain kali datang lagi dengan membawa campervan.

Selama tiga hari berkeliling Kangaroo Island, kami menginap di tiga caravan park yang berbeda, sesuai dengan itinerary. Yang pertama adalah Kangaroo Island Shores Caravan & Camping di Penneshaw, dekat dengan dermaga penyeberangan. Kami sampai di Caravan Park ini pukul 7 malam, hari sudah gelap dan resepsionis sudah tutup. Ketika Si Ayah menelpon, penjaga caravan park bilang agar kami memilih tempat sendiri dan bisa membayar sewanya besok. Kami pun memarkir campervan di antara kantor resepsionis dan kamar mandi, tentu setelah mengecek bahwa colokan listrik-nya benar-benar berfungsi. Colokan ini berguna untuk men-charge power di campervan yang digunakan untuk menyalakan lampu, memompa air di bak cuci piring, menyalakan kulkas dan microwave. Khusus microwave, hanya bisa digunakan ketika power disambungkan ke colokan listrik, jadi alat masak yang satu ini tidak bisa digunakan ketika kami dalam perjalanan. Colokan listrik juga penting banget untuk men-charge gadget-gadget kami (sudah jelas!).

Pagi harinya, baru kami bisa menyaksikan keindahan tempat ini, dengan bunga-bunga liar di sekeliling campervan, dan pemandangan laut yang bisa disaksikan dari tempat kami parkir. Kami cepat-cepat beberes, bongkar pasang setting campervan. Di hari-hari pertama, kami perlu waktu lama untuk bongkar pasang campervan ini. Tapi lama-lama, kami bisa melakukannya dengan mata tertutup :D 

Sekitar jam 11 siang, kami baru siap melanjutkan perjalanan. Saya yang bertugas membayar, celingak-celinguk mencari resepsionis yang baru saja saya lihat tadi pagi. Ternyata orang itu sudah pergi membawa serta mobilnya. Saya baca pengumuman di depan pintu kantor: kalau tidak ada orang, uang pembayaran bisa diselipkan di lubang pintu. Heh, serius? Saya mencari-cari lubang untuk menyelipkan uang, tapi tidak ketemu. Saya berlari ke depan untuk mencari kotak pos, siapa tahu bisa dititipkan di sana, ternyata juga tidak ada. Agak frustasi, saya menuliskan nama dan kontak kami, tanggal cek in dan cek out di kertas. Lalu saya sertakan uang sesuai tarif yang ada di website mereka, $27 per malam, plus $10 untuk tambahan dua anak. Setelah menggumamkan doa kecil, gulungan kertas berisi uang tersebut saya lemparkan di celah antara pintu kasa dan pintu kayu. Bismillah, yang penting sudah bayar, nggak ngemplang!

Little A menyiram bunga dengan... wajan :p
Bunga hasil panenan Little A. Berguna utk hiasa 'meja makan'.
Saya geli sendiri kalau ingat cara pembayaran yang ajaib tadi. Tapi ternyata malah ada caravan park yang sama sekali tidak ada penjaganya, bahkan tidak ada kantor resepsionisnya. Dalam perjalanan kami mencari pantai perawan Vivonne Bay, kami 'menemukan' caravan park jenis ini. Di sana hanya ada papan pengumuman yang menjelaskan cara pendaftaran dan tarifnya. Di dekatnya ada Pay Station, kotak untuk memasukkan uang pembayaran kita. Tarif bermalam di caravan park ini $25 untuk tempat dengan power (listrik) dan $15 tanpa power, berlaku untuk dua orang. Tambahan orang membayar $5 per malam. Fasilitas di caravan park dan camping ground ini cukup mantap. Selain kamar mandi dan toilet umum, juga ada tempat barbekyu dan taman bermain. Bonusnya, pantai Vivonne yang cantik bisa dicapai dengan 5 menit berjalan kaki, dan ada koala, penghuni tetap yang 'menjaga' kita di pepohonan.

Tadinya saya kepikiran untuk menginap di sini. Tapi takut kalau malam terlalu sepi dan esok harinya kami harus road trip dengan jalur yang lebih panjang lagi. Akhirnya kami memilih melanjutkan perjalanan ke barat dan menginap di Western KI Caravan Park & Wildlife Reserve.

Lokasi caravan park yang satu ini rimbun banget. Beberapa kilometer sebelum mencapai tempat ini, di kanan kiri jalan ada kanguru-kanguru liar, membuat Si Ayah harus menyetir dengan sangat hati-hati agar tidak menabrak. Tarif menginap semalam di sini untuk tempat dengan colokan listrik $28 untuk berdua. Orang ketiga bayar $8 dan anak di bawah 5 tahun $4. Jadi total $40. Lebih mahal dari caravan park sebelumnya, mungkin karena ada yang jaga 24 jam :) Fasilitas di sini standar, yang istimewa adalah penghuni asli-nya. Kami dikunjungi oleh dua kanguru ketika sedang makan malam, dibangunkan oleh suara berisik kalkun di pagi hari dan diganggu bebek-bebek liar ketika sarapan. Yah, namanya tidur di alam terbuka :) 

Tapi jangan salah, kamar mandi di setiap caravan park dilengkapi shower air hangat. Jadi di musim dingin pun, kita tetap bisa mandi nyaman dengan air hangat, semudah menyalakan kran.

Nggak ada yang jaga. Perhatikan tanda caravan warna biru :)
Toilet yg bersih dan nyaman.
Caravan Park yang terakhir kami singgahi adalah Kingscote Tourist Park & Family Units. Caravan park ini dekat sekali dengan Nepean Bay, tempat Si Ayah menyaksikan sunrise yang paling indah seumur hidupnya. Tempat ini dikelola oleh pasangan pensiunan yang bercita-cita tinggal di paradise. Ternyata, kata mereka, tinggal di tempat seindah ini pun banyak tantangannya. Antara lain mahalnya transportasi ke mainland (ingat cerita saya tentang tiket feri Sea Link?) dan biaya listrik yang tinggi. Saya jadi ingat cerita pemilik Parndana Wildlife tentang listrik yang harus 'diimpor' dari mainland melalui kabel bawah laut. Tapi sayangnya, listrik ini hanya bisa dialirkan searah. Jadi kalau ada kelebihan listrik, mereka tidak bisa mengembalikan ke mainland. Akhirnya mereka menanggung biaya yang lebih dari yang seharusnya.

Di Kingscote ini kami membayar $29 untuk power site, ditambah $16 untuk ekstra dua anak. Total $45 per malam. Di Pulau Kanguru ini, hanya di Kingscote, ibukotanya kami bisa menikmati layanan internet. Wifi yang tidak begitu lancar tarifnya $5 untuk 2 jam. Tapi lumayan lah untuk update-update status dan mengintip email :) Sore hari, saya menemani Little A berenang-renang dengan pelican di Nepean Bay. Nggak papa berbasah-basah sekalian karena memang ini jadwal kami mencuci baju. Setiap kali traveling, kami biasanya hanya membawa baju untuk tiga hari dan mencuci baju di perjalanan. Di campervan ini ada mesin cuci menggunakan koin 3x $1 untuk sekali cuci. Mesin pengering juga dioperasikan dengan koin 3x $1. Jadi nggak perlu repot-repot jemur baju, cucian langsung kering dan bisa dipakai lagi.

Western KI yang rimbun
Hot chocolate, beef pie and... iPad. Afternoon tea at Western KI.
The Precils makan sendiri ya, biar Emaknya nggak repot :p At Kingscote Tourist Park.
Saya memimpikan ada camping ground dengan fasilitas seperti ini di Indonesia (dengan toilet dan kamar mandi yang bersih, laundry, tempat barbekyu dan taman bermain), supaya kami bisa melanjutkan petualangan kami di tanah air. Atau sudah ada? Beritahu The Emak ya...

~ The Emak