Sabtu, 18 Februari 2012

[Penginapan] Hotel Grand Chancellor Hobart

Hotel Grand Chancellor Hobart. Foto oleh Anindito Aditomo.
Selama tiga hari jalan-jalan di Hobart, kami menginap di Hotel Grand Chancellor yang letaknya sangat strategis di tepi pelabuhan. Ini adalah penginapan favorit Little A dalam rangkaian Summer Adventure kami.

Saya memilih menginap di hotel ini karena Si Ayah mengikuti konferensi di sini. Jadi Si Ayah tidak repot bolak-balik ke tempat konferensi dan masih bisa bertemu kami ketika rehat makan siang. Tarif hotel ini AU$ 195 per malam untuk kamar dengan dua double bed dengan pemandangan kota atau gunung. Kalau ingin pemandangan pelabuhan dari dalam kamar, bisa upgrade dengan menambah AU$ 10 per malam. Tarif segitu hanya untuk akomodasi saja, tidak termasuk makan pagi. Tidak seperti di Indonesia, harga standar penginapan di Australia belum termasuk sarapan. Kalau ingin mencari sarapan yang lebih murah daripada harga sarapan prasmanan di hotel, cari saja kafe terdekat. Kopi dan toast harganya di bawah AU$ 10. Tapi maaf, tidak ada yang sedia sarapan bubur ayam di sini :p

Kalau boleh memilih, biasanya saya menghindari menginap di hotel-hotel besar seperti ini. Saya lebih suka menginap di motel atau apartemen yang tarifnya lebih murah dan mempunyai fasilitas untuk memasak. Di hotel mewah, biasanya hanya ada fasilitas membuat teh atau kopi dengan ketel listrik dan kulkas mini untuk menyimpan makanan. Untuk bisa menghemat, terpaksa saya harus kreatif. Dalam perjalanan liburan musim panas ke Tasmania dan New Zealand ini, saya membawa rice cooker kecil. Jangan tertawa dulu, peralatan yang satu ini sangat berguna untuk survival perjalanan dua minggu dengan dua precils :D Kalau sudah punya nasi, kita tinggal membeli lauk dan lalapan saja. Jatuhnya lebih murah daripada harus selalu membeli makan di luar. Harga satu porsi makanan di Australia kira-kira Rp 150.000, itu hanya untuk makanan di food court atau di warung pinggir jalan lho, belum di restoran. Nah, sekarang boleh ikuti tips saya membawa rice cooker ;)

Untuk menyiapkan sarapan The Precils, saya mengalihfungsikan setrika yang disediakan hotel menjadi toaster. Dari rumah, saya sudah mempersenjatai diri dengan aluminium foil. Untuk membuat roti setrika, oles dua potong roti tawar dengan selai kacang atau olesan kesayangan si kecil lainnya, tangkupkan dan bungkus rapi dengan aluminium foil. Setelah itu, setrika tiap sisi sampai roti hangat dan ada crust-nya. Hmm... yummy!

The Precils langsung terpaku menonton TV :p
Little A sarapan dengan roti setrika dan segelas susu, sambil lihat-lihat pemandangan kota Hobart.



Satu-satunya kekurangan hotel ini hanya ketiadaan fasilitas memasaknya. Selain itu, kami sangat menyukai fasilitas dan pelayanan di hotel ini. Kami sampai di hotel ini dengan mengendarai shuttle bus dari bandara Hobart, sekitar pukul 10.30 pagi. Waktu itu Little A tertidur karena capek dari penerbangan Sydney - Hobart, sehingga saya gendong sampai lobi. Si Ayah yang harus segera mengikuti konferensi meninggalkan kami di lobi, menunggu kamar disiapkan. Sebenarnya, aturan cek in baru bisa paling awal jam 2 siang. Tapi petugas yang mungkin kasihan melihat saya membawa dua precils, memprioritaskan cek in kami. Sambil menunggu, Little A tidur di sofa di lobi. Banyak tamu hotel yang senyum-senyum melihat Little A yang pulas. Nggak tahu, senyum karena lucu atau kasihan :) Dalam setengah jam, kamar kami sudah siap dan tas bawaan kami juga sudah diantar ke kamar.

Begitu sampai di kamar, Big A berteriak kegirangan. Dia memang pecinta hotel, seperti Emaknya :) Kamar kami bersih, cukup luas dengan ranjang empuk dan pemandangan kota dengan latar belakang Mt Wellington. Yang paling spektakuler adalah kamar mandinya: wastafel yang besar dengan meja marmer, bak mandi yang baru dan pancuran dengan curahan air seperti air terjun. The Precils jadi senang mandi di sini. Selain itu, ada fasilitas kolam renang tertutup yang sempat dicoba The Precils sekali.

Meskipun hotel ini ada restorannya, kami tidak pernah membeli makanan dari sana. Kami memilih membeli makanan dari luar. Tepat di depan hotel ini, di tepi dermaga ada beberapa warung apung yang menyediakan makanan laut. Di hari pertama kami membeli sekeranjang fish&chips di Flippers dan membeli sepaket lagi untuk makan malam. Selain warung apung, di dekatnya juga ada restoran seafood yang lumayan terkenal di Hobart: Mures. Sayang sekali harganya tidak mure :)) Malam terakhir, kami makan malam di restoran India: Saffron, yang juga ada di seberang hotel kami. Masakan India di resto ini rasanya lumayan dan mereka juga menyediakan menu halal.

Yang paling berkesan bagi Little A tentang hotel ini adalah pintu putarnya. Setiap keluar dan masuk hotel ini, Little A selalu memilih lewat pintu berputar, meskipun ada pilihan pintu lain yang bisa membuka secara otomatis. Pada awalnya, Little A takut-takut dan minta gendong. Tapi lama-lama dia malah ingin melewati pintu ini sendiri dengan mendorong daun pintunya yang lumayan berat. Saking cintanya dengan pintu putar ini, setiap kali dia melihat ada pintu putar di hotel atau perkantoran di Sydney, Little A bertanya, "Is this Hobart?"

Pemandangan pelabuhan Hobart dilihat dari depan lift hotel
Keluarga The Precils di depan hotel, siap melanjutkan perjalanan ke Cradle Mountain

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):
 
~ The Emak

Rabu, 15 Februari 2012

Tiga Hari Menyapa Hobart

Suasana dermaga Hobart malam hari. Foto oleh Anindito Aditomo
Ketika menerima berita Si Ayah akan konferensi di Hobart, saya ikut bersorak gembira. Artinya kami bisa ikut jalan-jalan ke ibukota Tasmania ini. Si Ayah yang nggak bisa jauh dari The Precils ini pasti minta ditemani :p

Tasmania adalah pulau yang terpisah dari daratan (mainland) Australia. Hobart, ibukota Tasmania terletak di ujung selatan pulau ini. Tasmania bisa dicapai dengan pesawat dari kota-kota di Australia melalui bandara di Hobart atau Launceston, atau dicapai dengan menggunakan ferry Spirit of Tasmania yang menghubungan pelabuhan Devonport dan Melbourne. Sayang sekali tidak ada penerbangan langsung dari Tasmania ke Indonesia, jadi kalau mau mengunjungi Tasmania harus transit dulu di kota-kota di mainland Australia. Kami terbang dari Sydney menuju Hobart menggunakan pesawat domestik Jetstar dan pulangnya mencoba naik kapal Spirit of Tasmania.

The Precils sangat menikmati suasana liburan pendek kami di Hobart. Menurut Big A, Hobart lebih sepi daripada Sydney dan cuaca di sana lebih dingin. Little A juga senang jalan-jalan di Hobart karena tinggal di hotel yang bagus :p Berulang kali dia bilang ingin pergi lagi ke hotel di Hobart. Menurut saya, anak-anak ini senang di Hobart karena kami benar-benar bisa santai di sini, kecuali Si Ayah tentunya yang ke sini untuk kerja :) Kami menginap di hotel di depan pelabuhan persis, dan kemana-mana tinggal jalan kaki. Saya tidak membuat itinerary yang padat sehingga The Precils bebas bermain-main. Hari pertama kami jalan-jalan di sekitar hotel, singgah di visitor centre dan menuju pusat kota (Mal). Hari kedua kami habiskan untuk mengunjungi pabrik coklat Cadbury, sekitar 1 jam dari kota dengan bis. Hari ketiga kami kembali jalan-jalan menyusuri pelabuhan, melewati Salamanca dan menemukan taman bermain yang asyik dan membuat The Precils betah.
Kantor Pos Besar di Hobart. Depannya adalah depot bis. Foto oleh Anindito Aditomo.
Mal Hobart di Elizabeth St. Foto oleh Anindito Aditomo.
Kota Hobart lebih kecil daripada ibukota negara bagian lainnya di Australia. Karena itu Hobart juga lebih gampang dijelajahi. Pusat kota atau Mal-nya ada di Elizabeth St. Seperti yang sudah sering saya ceritakan, Mal di sini adalah pedestrian, jalan khusus untuk pejalan kaki, yang di kanan kirinya ada toko-toko kecil dan kafe. Mal ini benar-benar nyaman untuk jalan-jalan, dalam arti sebenarnya. Dari hotel kami yang berada di dekat pelabuhan, kira-kira lima belas menit jalan kaki ke Mal ini. Sebelumnya, kami singgah dulu di visitor centre untuk bertanya rute menuju Pabrik Coklat Cadbury yang akan kami kunjungi besoknya. Mengunjungi pabrik coklat ini satu-satunya acara yang saya agendakan. Acara lainnya bebas, mengikuti kaki kami mengajak kemana :)

Visitor Centre Hobart terletak di Davey St, jalan yang sama dengan hotel kami, sekitar 5 menit jalan kaki. Pelayanan di Visitor Centre cukup bagus. Di sini kita juga bisa booking penginapan (kalau belum punya) dan tur. Tempat kecil ini menyediakan brosur dan peta gratis, dan menjual kartu pos dengan harga murah, mulai 50 sen. Oleh petugas, saya diberi tahu jalur bis umum yang menuju pabrik coklat Cadbury. Sebenarnya ada tur khusus ke pabrik coklat ini, tapi tentu saja saya memilih yang lebih murah. Depot atau terminal bis di tengah kota Hobart terletak di depan kantor pos besar. Gedung kuno nan megah yang dijadikan kantor pos ini mudah sekali ditemukan, hanya satu blok di seberang Visitor Centre dan satu blok sebelum mal Elizabeth St.

Selama tiga hari di Hobart, kami tidak menyewa mobil karena rencananya memang hanya akan jalan-jalan di dalam kota. Lagipula sopir yang biasa menyetir mobil (Si Ayah!) sedang sibuk konferensi :D Dari bandara Hobart, kami menuju hotel menggunakan shuttle bus yang tarifnya 'hanya' $10 untuk dewasa dan $5 untuk anak-anak. Jarak dari bandara Hobart menuju pusat kota sekitar 18 menit dan bisa dicapai kurang lebih 20 menit dengan taxi lewat jalan tol. Kalau mengendarai shuttle bus (seperti layanan 'travel' di Indonesia), waktu tempuh bisa dua kali lipatnya karena harus mengantar penumpang lain dulu.
 
Atraksi utama Hobart adalah dermaga tempat berlabuh kapal-kapal pengangkut ikan. Kita bisa berjalan menyusuri pelabuhan ini sampai Salamanca. Setiap Sabtu, ada pasar dadakan di Salamanca yang menjual barang-barang kerajinan dan makanan segar. Sayangnya kami tidak mengunjungi Hobart di akhir pekan sehingga tidak punya kesempatan main di Salamanca Market ini. Namun, tanpa ada pasar pun, Salamanca tetap menarik untuk dikunjungi. Daerah ini berisi bangunan-bangunan kuno dari sandstone yang dulunya merupakan gudang pelabuhan. Gudang-gudang tua ini disulap menjadi kafe, toko dan galeri cantik, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Hobart. Di tengah kawasan ini ada Salamanca Square yang di tengahnya terdapat taman dengan air mancur, papan catur raksasa, bangku-bangku tempat duduk dan toko-toko atau kafe. Sebenarnya mirip dengan kompleks ruko di Indonesia namun ditata dengan cantik dan lapang sehingga anak-anak punya ruang bermain. 

Saya singgah di Salamanca Square ini dengan tujuan utama mencuci baju! Ya, daripada buang-buang uang dengan mencuci baju di hotel, lebih baik mencari laundry koin yang murah. Dari saran di Lonely Planet, saya berhasil menemukan Machine Laundry Cafe, yang merupakan kafe dengan laundry di sebelahnya. Pukul 10 pagi, tempat ini sudah ramai dengan orang-orang yang sarapan sambil mencuci baju. Saya yang gagap karena belum pernah mencuci baju di laundry umum, merasa terbantu oleh pegawai kafe ini yang gantengnya mirip Jake Gyllenhaal ;) Tentu saya tidak terbantu dengan kegantengannya, tapi dengan pelayanan dan keramahannya. Untuk sekali mencuci baju diperlukan 5 koin $1 dan untuk mengeringkan baju diperlukan koin $1 per 7 menit. Kafe ini bersedia menukar koin dan juga menjual deterjen sachet seharga 50 sen. Sembari menunggu baju dicuci, saya dan The Precils nongkrong di kafe dan memesan makanan dan minuman.

Kelar mencuci baju kotor yang menumpuk tiga hari selama kami di Hobart, saya membawa anak-anak ke toko buku, Hobart Book Shop yang ada di Salamanca Square ini. Toko buku mungil ini nyaman dan tidak terlalu ramai. Big A membeli buku The Mysterious Benedict Society, serial detektif kesayangannya. Tidak sabar menunggu sampai di hotel, Big A membaca buku ini sepanjang jalan. Setelah menuruti keinginan Big A, giliran Little A yang perlu disenang-senangkan. Kami mengunjungi Faerie Shop yang isinya segala sesuatu tentang Fairy (peri), masih di kawasan Salamanca. Toko mungil berwarna pink yang desainnya unik ini merebut hati Little A. Setelah lama memilih dan melihat-lihat ini itu, akhirnya dia membeli notes berbentuk tas kecil, yang tentu saja bergambar peri, lengkap dengan glitter-nya :)

Toko buah segar di Salamanca. Foto oleh Anindya Amarakamini.
Pertokoan di Salamanca.
Di atas Salamanca, ada daerah perkampungan lain yang menarik dikunjungi, yaitu Battery Point. Di kawasan ini ada rumah-rumah kuno yang kecil dan cantik, khas rumah-rumah tepi pelabuhan. Untuk mencapai Battery Point, kita bisa naik tangga curam di Kelly Steps di Salamanca. The Precils terengah-engah sampai di atas dan sebel sama Emaknya yang sebenarnya tidak tahu jalan harus lewat mana :p Untungnya saya mengambil jalan yang benar yang ujungnya adalah taman bermain kecil bernama Arthur Circus. Di taman kecil ini hanya ada satu set ayunan, namun cukup membuat The Precils tersenyum kembali. Dari peta yang kami ambil di Visitor Centre, saya melihat ada taman bermain yang lebih besar bernama Princess Park, yang tidak jauh dari Arthur Circus. The Precils gembira dan menurut ketika saya ajak menuju Princess Park dan menghabiskan dua jam main di sana. Saya cukup leyeh-leyeh dan menikmati pemandangan pelabuhan dari taman yang ada di atas bukit ini.

Untuk melihat pemandangan kota Hobart yang lebih spektakuler, cobalah dari gardu pandang di Mt Wellington. Look out di Mt Wellington ini bisa dicapai dengan bermobil, sekitar 20 menit dari pusat kota. Sayang sekali kami tidak sempat naik ke Mt Wellington ini karena begitu kami menyewa mobil di hari keempat, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman di jalan.

Selama tiga hari jalan-jalan menjelajah Hobart, Si Ayah tidak ikut kami. Baru sore atau malam hari setelah konferensi usai, Si Ayah bisa bergabung. Malam pertama, kami mengajak Si Ayah mencicipi seafood di depan warung terapung. Pilihan kami adalah Flippers, yang bentuk warungnya lucu seperti ikan :) Sebenarnya, siang harinya kami sudah jajan di warung yang harga makanannya cukup murah ini. Di tepi dermaga ada warung-warung apung yang menjual makanan laut dengan menu yang sama. Saya pilih Flippers karena warung ini paling ramai dikunjungi orang. Kami memesan Fisherman Basket Deluxe yang berisi macam-macam makanan laut. Hmm... rasanya enak banget dan fresh. Ini fish&chips terenak yang pernah saya coba. Saya suka banget dengan rasa gurih ikan Trevalla-nya. Mungkin karena ikannya segar hasil tangkapan pagi ini.

Kenyang, kami menemani Si Ayah yang sedang belajar memotret suasana malam, dengan berjalan-jalan keliling dermaga. Hasil belajar Si Ayah bisa dilihat dari foto utama artikel ini :) Bagaimana, udah secantik gambar di kartu pos kan? *memuji suami sendiri* 

Meskipun kami ke sana di musim panas, angin malam di tepi dermaga cukup kencang dan dingin, harus dilawan dengan mengenakan jaket. Malam kedua kami tidak keluar malam karena The Precils sudah capek usai berenang dengan Si Ayah di kolam renang hotel. Malam ketiga kami keluar lagi untuk makan malam di restoran India, The Saffron yang letaknya hanya selemparan batu dari hotel kami. Malam itu, angin yang bertiup lebih dingin lagi daripada malam yang pertama. Kami cepat-cepat menuntaskan makan malam, istirahat di hotel karena besoknya kami akan menempuh perjalanan panjang menuju tujuan kami selanjutnya: Cradle Mountain.

Emak dan The Precils nongkrong di warung fish & chips apung. Foto oleh Anindito Aditomo.
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

~ The Emak


Rabu, 08 Februari 2012

Pengalaman The Precils Naik Emirates

Foto dari http://www.emirates247.com
Hari terakhir kami di Christchurch, New Zealand, Big A sudah tidak sabar ingin segera pulang ke Sydney. Dia penasaran banget ingin mencoba fasilitas ICE (information, communication, entertaintment) Emirates yang tersedia di setiap tempat duduk termasuk di kelas ekonomi.

Ketika merencakan liburan ke Selandia Baru, saya membeli tiket terpisah pergi dan pulangnya. Kami berangkat dari Melbourne ke Queenstown dengan Jetstar yang waktu itu promosi murah banget, hanya A$ 99 per orang sekali jalan dan separuhnya untuk anak-anak. Untuk pulangnya, saya menunggu ada tiket murah dari Queenstown ke Sydney, tapi tidak beruntung. Akhirnya kami putuskan pulang dari Christchurch. Keputusan yang tepat karena asyiknya menjelajah New Zealand adalah dengan road trip. Ada beberapa perusahaan penerbangan yang melayani rute Christchurch - Sydney, yang tarifnya rata-rata lebih murah daripada Queenstown - Sydney. Suatu hari, saya kaget (dan senang) menemukan tarif promosi Emirates di websitenya.

Harga tiket Christchurch - Sydney ini totalnya NZ$629,96 atau rata-rata NZ$157,49 per orang sekali jalan. Saya pikir, kapan lagi bisa naik Emirates dengan harga terjangkau? Lagipula harga segitu lebih murah daripada Jetstar, Virgin, Qantas atau Air New Zealand. Karena ini maskapai reguler, tiket sudah termasuk bagasi (30 kg!), pilih kursi, makan dan hiburan. Saya memesan tiket langsung dari website Emirates yang mudah digunakan ini. Untuk memesan, tidak perlu ribet memasukkan nomor paspor atau keterangan lain karena profil bisa diperbarui kemudian hari. Ketika akan terbang, kami melakukan cek-in online dengan mencetak sendiri boarding pass. Waktu itu, saya minta tolong resepsionis motel kami di Christchurch untuk mencetaknya. Ketika antri untuk cek in di bandara internasional Christchurch, kami mendapat antrian khusus yang jauh lebih pendek karena sudah cek-in online. Pesawat kami ini melayani rute Christchurch - Sydney - Bangkok - Dubai. Mungkin harganya bisa murah karena ada kursi-kursi kosong di leg Christchurch - Sydney ini. Selain dari Christchurch, Emirates juga terbang dari Auckland dengan rute Auckland - Melbourne/Sydney/Brisbane kemudian Dubai. Sayangnya Emirates tidak punya penerbangan langsung dari Indonesia ke Australia atau New Zealand. Yang ingin mencoba Emirates dari Indonesia, bisa transit dulu di Singapore/KL. Ada rute Singapore - Brisbane atau KL/Singapore - Melbourne.

Cek in kami sudah beres dua jam sebelum pesawat boarding. Big A sudah tidak sabar naik pesawat ini dan ribut karena menunggu terlalu lama di bandara. Kami sempatkan menunggu dengan ngopi di kafe, makan buah dan donat, dan akhirnya main-main di ruang tunggu setelah melewati pemeriksaan keamanan. Bandara Christchurch ini cukup nyaman, dengan beberapa pilihan tempat makan, toko-toko suvenir dan toilet yang super bersih. Ada juga fasilitas wifi gratis selama 30 menit. Sebenarnya saya ingin membeli baju-baju dari wool New Zealand yang terkenal, namun apa daya harganya mencekik leher :p Harus cukup puas dengan suvenir kartu pos, magnet dan gantungan kunci.

Di ruang tunggu, Little A tidak serewel kakaknya karena bisa bermain-main dengan koper Trunki-nya. Yang saya senangi dari bandara di New Zealand, kami dipersilahkan boarding lebih awal karena membawa anak-anak kecil. Begitu juga orang hamil atau orang yang sudah tua. Big A yang paling semangat memasuki lorong menuju pesawat yang dihiasi dengan gambar alam New Zealand disertai suara cericit burung bersahutan. Sampai ketemu lagi, New Zealand :)

Formasi tempat duduk di Emirates kelas ekonomi adalah 3 - 4 - 3. Lorong di tengah lumayan sempit untuk jalan, sampai harus miring ketika berpapasan. Ketika pramugari mendorong troli makanan, praktis tidak ada sisa tempat lagi untuk jalan. Tapi toh kami tidak banyak menggunakan lorong itu. Kami memesan tempat duduk di tengah agar bisa duduk berempat, The Precils di tengah. Ruang untuk kaki lumayan lebar daripada Jetstar, atau mungkin karena kami pendek? :D Big A yang sudah menanti-nanti untuk main game dan menonton film sejak browsing tentang Emirates, segera mencoba fasilitas ICE yang ada di depannya. Fasilitas hiburan di Emirates ini memang cukup canggih. Dengan layar touch screen atau remote pribadi, kami bisa memilih untuk menonton film (banyak sekali pilihan, termasuk film baru), mendengarkan musik, membaca berita, berbelanja di toko Emirates, atau mengintip bagaimana pesawat ini lepas landas. Ada dua kamera yang bisa kita akses, kamera di bawah dan di depan pesawat. Seperti biasa, Big A yang lebih tahu cara mengoperasikan ICE ini daripada kami. Beberapa kali dia mengajari Si Ayah yang kesulitan memilih film :)



Sebelum lepas landas, anak-anak diberi mainan berupa boneka tangan berbentuk burung nuri dan macan. Little A mendapat mainan ekstra berupa majalah untuk mewarnai berikut pensil warnanya.
Pesawat berhasil lepas landas dengan mulus, tidak begitu terasa karena ini pesawat besar, Boeing 777. Little A yang kecapekan langsung tidur nyenyak di pesawat, dengan bantal yang disediakan Emirates dan selimut pink kesayangannya. Sepanjang penerbangan, Little A tidur, sehingga dia melewatkan makanan khusus untuk anak-anak yang tampak lebih 'yummy' daripada makanan dewasa :) Saya yang terbiasa naik pesawat budget, sudah lupa rasanya naik pesawat dari maskapai reguler. Jadi saya norak bahagia ketika menerima senampan makanan dengan menu lengkap: kue, camilan, salad, nasi kari dan air putih. Semua makanan di Emirates ini halal, jadi tidak perlu memesan makanan halal secara khusus. Kari ayamnya tidak begitu istimewa, tapi cukup untuk membuat perut kenyang dan melawan pusing akibat perubahan tekanan dan turbulence. Selesai makan, kami masih disuguhi minuman teh atau kopi.






Ketika kami memasuki pesawat, ada satu pramugari Emirates yang menyapa kami, "From Indonesia?" Mungkin tampang kami Indonesia banget ya, hehe. Ternyata dia orang Indonesia juga, tapi sudah lama tinggal di luar negeri. Dia sudah agak lupa bahasa Indonesia dan bertanya pada kami, apa bahasa Indonesianya "chicken" dan "beef" :) Saya senang melihat seragam pramugari Emirates yang khas banget dengan topi mereka yang dihiasi scarf. Pakaian mereka pun sopan, dengan celana panjang atau rok di bawah lutut, sehingga tidak mengganggu pemandangan :)

Secara umum, pengalaman naik Emirates ini menyenangkan. Big A sempat nonton film Smurf, sementara Si Ayah asyik menonton Transformer. Saya sendiri cukup mendengarkan musik dan memakan semua yang dihidangkan di depan saya :p Ketika akan mendarat, saya dan Big A nonton bareng aksi pesawat dari kamera di bawah dan depan pesawat. Dari jauh, kami bisa melihat daratan Sydney yang mulai nampak, sampai akhirnya pesawat mendarat di landasan dan parkir manis di tempatnya. Sydney, we're home!



~ The Emak 

Catatan: 
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
NZD 1 = IDR 7200
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150

Rabu, 01 Februari 2012

[Penginapan] Tudor Court Motel Christchurch


Tudor Court motel di kota Christchurch adalah penginapan terakhir selama road trip kami menjelajah Pulau Selatan Selandia Baru. Kalau di Wanaka dan Lake Tekapo saya bingung mencari penginapan karena tidak banyak pilihan, di Christchurch ini saya bingung karena terlalu banyak pilihan :p Maklum, Christchurch memang kota terbesar di Pulau Selatan New Zealand, yang menjadi gateway jalan-jalan di negara Kiwi ini.

Dua kali gempa besar yang melanda Christchurch, September 2010 dan Februari 2011 mengakibatkan kerusakan pada bangunan-bangunan hotel. Beberapa hotel besar, terutama di tengah kota hancur. Sementara hotel-hotel yang lain belum layak huni karena bangunannya miring. Penginapan yang bisa survive di tengah gempa adalah motel-motel kecil (berlantai satu atau dua) yang ada di pinggiran kota.

Seperti biasa, saya mencari-cari penginapan di website Wotif. Ada beberapa motel bagus menurut review Trip Advisor, yang letaknya paling dekat dengan pusat kota, tapi harganya di atas NZ$ 200, di luar jangkauan kocek saya :) Akhirnya saya menemukan motel Tudor Court ini, yang bangunannya tampak menarik, dengan harga NZ$ 165 per malam, untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak. Saya pesan dari Wotif yang tarifnya sedikit lebih murah daripada tarif di website resminya.

Motel ini hanya punya 1 kamar tidur berisi dua single bed untuk the precils. Ranjang utama ada di ruang serbaguna yang menjadi satu dengan sofa, meja makan dan dapur kecil. Kami mendapatkan kamar di pojok, tanpa pemandangan ke luar. Dari jendela yang bisa dibuka, tampak pepohonan dari motel sebelah. Nggak jauh beda dengan pemandangan dari apartemen kami di Sydney :)) Bangunan di motel ini tampak kuno, terlihat dari sofa, pemanas, dapur dan kamar mandinya. Mengingatkan saya pada motel tempat kami menginap di Snowy Mountain. Dapur kecilnya juga hanya ada kulkas kecil, microwave dan bak cuci piring, tanpa kompor. Fasilitas laundry umum ada di luar kamar, menggunakan koin. Saya tidak menggunakan laundry karena sudah puas cuci-cuci baju di Lake Tekapo Holiday Park. Nilai plus dari motel ini: kasurnya nyaman, dengan linen dan sprei berkualitas dari Sheridan. Kami bisa tidur nyenyak, dihangatkan oleh selimut listrik.

Lokasi motel Tudor Court ini di Bealey Avenue, utara pusat kota. Di sepanjang Bealey Avenue banyak terdapat motel. Lokasi tidak terlalu masalah kalau kita membawa mobil, hanya sekitar 5 menit ke pusat kota, Botanic Garden atau Museum. Sore hari setelah mengunjungi museum, Big A minta dibelikan buku karena buku yang saya belikan di Hobart sudah tamat ia baca. Big A akan bilang I am bored setiap menit kalau tidak punya bacaan. Dari penjaga museum kami diberi tahu kalau ada beberapa toko buku di Riccarton Mall. Daerah Riccarton ini terletak di sebelah barat Museum/Botanic Garden. Di kanan kiri jalan Riccarton berderet-deret toko, kafe, motel dan satu mal besar. Saya pikir, enak juga kalau motel kami ada di jalan Riccarton ini, tinggal menyeberang jalan kalau mau belanja ke Mal. Kalau kami punya kesempatan mengunjungi Christchurch lagi, pilihan pertama saya adalah Motel Kauri yang persis di seberang pusat perbelanjaan. Saya ingat kehabisan kamar di motel ini ketika memesan lewat Wotif dulu. Buku yang Big A cari tidak ada di Mal Riccarton. Capek keliling Mal mencari toko buku, kami makan di food court-nya, di bawah pengawasan tukang bersih-bersih karena sebentar lagi Mal tutup (jam 6 sore waktu setempat).

Minggu, 11 Desember 2011, saya dibangunkan oleh The Precils dan Si Ayah. Perasaan saya waktu itu: bahagia yang sederhana. Ini adalah negara ketiga tempat saya merayakan ulang tahun, setelah Indonesia dan Australia. The Precils memberi saya kartu ulang tahun yang diam-diam mereka beli di supermarket di Wanaka. Saya terharu dengan perhatian mereka, tapi juga tertawa melihat gambar Barbie di kartu ultah saya, dengan latar belakang warna pink yang gemerlap. Ini pasti pilihan Little A :D Jam 10.30 kami cek out dari motel, kembali jalan-jalan ke museum dan Botanic Garden, kemudian merayakan ulang tahun saya dengan makan siang di restoran Malaysia di Papanui Road. Sorenya, kami harus mengejar pesawat Emirates yang akan membawa kami kembali ke Sydney.

~ The Emak

Senin, 30 Januari 2012

Mengunjungi Christchurch Pasca Gempa

Punting di sungai Avon, Christchurch
Christchurch, yang dijuluki 'kota paling Inggris', adalah kota terbesar di Pulau Selatan Selandia Baru. Pada bulan Februari 2011, Christchurch diguncang gempa dahsyat berkekuatan 6,3 skala Richter, yang meluluhlantakkan bangunan di pusat kota, termasuk gereja katedral. Christchurch adalah kota terakhir yang kami kunjungi dalam rangkaian Road Trip berkeliling South Island New Zealand, Desember tahun lalu (2011).

Perjalanan dari Lake Tekapo menuju Christchurch dapat ditempuh dalam waktu 3 jam mengendarai mobil. Jalan yang dilalui cukup mulus melewati Highway No.1. Tidak banyak pemandangan indah yang bisa kami lihat dalam road trip kali ini, kecuali beberapa peternakan dan farm stay di antara Burkes Pass dan Fairlie. Setelah perjalanan melalui Highway, pemandangan berganti menjadi lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk. Kami yang sudah seminggu ini melalui jalan-jalan sepi di Pulau Selatan, lumayan takjub melihat mobil yang berlalu lalang cukup banyak, rasanya seperti kembali ke peradaban :) 

The Precils tidak terlalu rewel dalam perjalanan ini. Little A tertidur di mobil sehingga kami tidak perlu sebentar-sebentar berhenti. Kami hanya berhenti sekali di kota kecil Tinwald di tengah-tengah perjalanan Lake Tekapo - Christchurch. Di sini kami singgah di minimarket untuk membeli buah dan sayur, sekaligus membeli camilan makan siang. Yang menarik, minimarket di Tinwald ini menyediakan troli kecil khusus untuk anak-anak. Little A bukan main senangnya, dengan sukarela membantu membawa belanjaan kami di troli kecilnya.
Little A dengan troli mini di supermarket Tinwald
Kalau Little A senang, maka perjalanan selanjutnya akan berjalan mulus. Mendekati kota Christchurch yang lumayan ramai, saya sempat was-was salah jalan karena kami tidak menggunakan GPS. Hanya berbekal peta yang saya ambil dari Wanaka, saya mencoba mencari jalan menuju motel Tudor Court tempat kami menginap. Untungnya kami tidak nyasar dan selamat sampai di motel.

Kami sampai di Christchurch sekitar jam 3 sore. Setelah beristirahat sejenak di motel Tudor Court, kami segera memulai jalan-jalan di Christchurch. Tak lupa saya mengambil peta kota ini di resepsionis untuk bekal berputar-putar. Dengan semangat, kami langsung menuju pusat kota. Ternyata banyak sekali road block atau jalan yang ditutup, terutama di tengah kota. Si Ayah mencoba melipir ke jalan-jalan yang dipasangi pagar pembatas tersebut, berputar beberapa kali karena banyak jalan yang satu arah. Kami melewati bangunan gereja katedral yang hancur akibat gempa, dan juga bangunan-bangunan lain yang tinggal puing-puing. Saya tidak menduga akibat gempa Christchurch masih separah ini, mengingat gempa besarnya sudah terjadi 10 bulan yang lalu. Mungkin gempa-gempa susulannya yang membuat pembersihan atau rehabilitasi tertunda. 

Kabar baiknya, masih ada tempat wisata yang layak dikunjungi di Christchurch: Museum dan Botanical Garden (Kebun Raya). Takut museum keburu tutup, kami segera mencari tempat parkir (gratis) di pinggir jalan dan bergegas menuju gedung dengan arsitektur khas ini.

Canterbury Museum
Museum Canterbury terletak di samping Botanical Garden, di sebelah barat pusat kota. Pasca gempa, museum ini mulai buka lagi September 2011. Jam buka dari 9 pagi sampai jam 5 sore. Biaya masuk gratis, tapi mereka juga menerima donasi. Kami sampai di museum ini setengah jam sebelum tutup dan disambut dengan ramah oleh petugas. "Masih banyak yang bisa dilihat dalam setengah jam. Ayo, tidak perlu membuka peta, temukan saja kejutan di sana," kata petugas yang tetap bersemangat menjelang tutup.

Koleksi museum Canterbury ini cukup menarik, mulai dari diorama penduduk asli New Zealand, bangsa Maori, sejarah pendudukan orang Eropa, ekspedisi Antartika dan juga replika pusat kota Christchurch di abad ke-19, lengkap dengan toko-toko kuno dan suara-suara keramaian. Ketika kami ke sana, sedang ada pameran World of Wearable Art, gaun-gaun dari bahan yang unik. Kami mengira Little A yang hobi memerhatikan fesyen akan senang dengan pameran ini, tapi dia malah takut karena suasana di museum ini hanya remang-remang, tanpa penerangan yang cukup.

Dalam waktu setengah jam kami hanya bisa melihat-lihat tampilan di museum dengan cepat. Kami sempat singgah di lantai dua yang berisi pameran "Hearts for Christchurch". Di dalam ruangan ini dipamerkan karya sulaman berwarna-warni sebagai rasa simpati mereka terhadap gempa Christchurch. Little A senang berada di antara pernak-pernik penuh warna ini. Dari jendela di lantai dua ini kami juga bisa melihat tanaman di Botanical Garden.


Canterbury Museum
Fosil kaki elang raksasa yang sudah punah
Diorama kehidupan penduduk Maori

Esok harinya, setelah cek out dari motel Tudor Court, kami kembali mengunjungi Museum ini. Kali ini Big A ingin kembali melihat-lihat koleksi Wearable Art, dan saya juga ingin membeli beberapa kenang-kenangan berupa gantungan kunci, magnet kulkas dan kartu pos di toko museum. Sebenarnya saya ingin membeli barang-barang khas dari wool New Zealand, tapi ampun mahal sekali harganya :p

Christchurch Botanic Gardens
Kebun Raya yang menjadi paru-paru kota ini wajib dikunjungi pejalan yang singgah di Christchurch. Luas total kebun raya ini 21 hektar, tidak cukup waktu sehari untuk berjalan-jalan dan mengamati semua koleksi tanamannya. Kami mengunjungi kebun raya ini dua kali: sore hari setelah museum tutup dan keesokan harinya setelah kami cek out dari motel.

Yang pertama dicari oleh The Precils di Botanical Gardens adalah taman bermainnya. Dasar anak-anak ya, dari semua tempat-tempat indah yang mereka kunjungi, tetap playground yang menjadi pilihan nomor satu. Kami memarkir mobil kami di Armagh St Parking Area, tempat parkir gratis yang buka sampai jam 11 malam. Tempat parkir ini yang paling dekat dengan area playground. Dari tempat parkir, kami menyeberang jembatan kecil melintasi sungai avon.

The Precils cukup gembira bermain di playground, meskipun fasilitasnya sudah cukup tua dan minta diganti. Little A berpura-pura menjadi princess dan merayakan wedding di castle, karena melihat ada bangunan gerbang seperti pintu sebuah puri. Saya menemukan lubang kelinci (rabbit hole) di antara semak-semak dan mengajak Little A untuk keluar masuk dari situ. Dan begitu menemukan panggung dari sisa akar pohon yang ditebang, Little A segera berdansa dan meminta kami untuk bertepuk tangan :D Sementara itu, Big A tidak kalah senang bermain gelantungan di taman. Dua jam cukup membuat The Precils gembira dan Si Ayah juga lumayan puas bisa memotret sesuka hati.

Piknik di tepi sungai Avon

Keesokan harinya, setelah berbelanja oleh-oleh di toko di dalam museum Canterbury, kami menjelajah Kebun Raya dari sudut yang lain. Di samping Museum ini juga ada kios informasi yang dulunya ada di dekat Gereja Katedral. Kami berjalan-jalan melewati air mancur dan mengamati bunga-bunga yang ditanam dengan formasi tertentu. Saya tidak punya pengetahuan cukup tentang jenis-jenis bunga dan pohon, jadi hanya sekadar menikmati indahnya suasana di sini dan membaca papan informasi yang tersedia. Di Kebun Raya ini banyak terdapat pohon-pohon tua yang rindang, membuat suasana nyaman dan sejuk.

Sambil berjalan-jalan, Little A sibuk memotret dengan kamera saku. Big A yang lama-lama bosan berjalan-jalan di antara pohon-pohon, menantang saya untuk lomba lari. Kalau saja dia tidak curang, saya pemenangnya :) Sebenarnya masih banyak yang bisa dilihat di Botanic Gardens ini, antara lain koleksi bunga mawar, koleksi taman New Zealand, koleksi tanaman dari Australia dan juga taman air. Namun karena waktu terbatas, kami tidak bisa melihat semuanya.

Di depan Kebun Raya Christchurch
Little A memotret Si Ayah yang memotretnya :p
Big A menantang The Emak adu lari
Pamer gantungan kunci yang dibeli di Museum
Punting di Sungai Avon
Punting di sungai Avon merupakan salah satu atraksi di Christchurch yang tetap bisa dilakukan pasca gempa. Punting menyusuri sungai ini kurang lebih sama dengan naik gondola di Venice. Stasiun utama punting terletak di Old Boat Shed, bangunan khas berwarna hijau di seberang Botanic Gardens. Di sana kita akan menjumpai perahu-perahu kecil yang ditambatkan oleh mas-mas berseragam khas dengan rompi dan topi bulat. Tiket untuk punting setengah jam di sungai Avon adalah NZ$25 untuk dewasa, NZ$12 untuk anak-anak dan gratis untuk balita. Sayangnya kami tidak sempat mencoba punting ini. Selain uang kami sudah menipis, kami juga harus mengejar pesawat di Christchurch International Airport untuk kembali ke Sydney.


~ The Emak