Kios bunga di Central Market Adelaide |
Adelaide menjadi ibukota terakhir di negara bagian Australia yang pernah kami singgahi. Sebelumnya kami sudah pernah mengunjungi SEMUA ibukota negara-negara bagian di Australia: Sydney (NSW), Melbourne (VIC), Brisbane (QLD), Canberra (ACT), Hobart (TAS), Darwin (NT), Perth (WA). Akhirnya kesampaian juga menjejakkan kaki di Adelaide, ibukota South Australia. Ralat, resminya hanya kami bertiga, The Emak dan dua precils yang menjejakkan kaki di semua negara bagian karena Si Ayah tidak ikut ke Perth waktu itu. Mumpung punya visa Australia,
Kami berangkat dari Sydney menuju Adelaide dengan pesawat (lagi-lagi) Jetstar karena memang waktu itu tarifnya paling murah. Tiket per orang AUD 125, termasuk bagasi masing-masing 20kg. Total kami berempat AUD 500. Kami berangkat pagi-pagi benar, boarding pukul 6.15 pagi, membawa semua koper yang akan kami bawa pulang ke Indonesia. Sebenarnya ini agak ribet karena kami bawa 3 koper besar, 1 car seat, dan masih ditambah 3 ransel. Pulkam ceritanya :) Perjalanan dari Sydney ke Adelaide memakan waktu 2 jam 10 menit. Kami mendarat di Adelaide pukul 7.55 pagi. Waktu di Adelaide setengah jam lebih lambat daripada Sydney, yang berarti 3,5 jam lebih cepat dari WIB.
Kalau ingin terbang langsung menuju Adelaide dari Indonesia, kita bisa naik Virgin Australia. Maskapai ini satu-satunya yang melayani penerbangan langsung dari Denpasar ke Adelaide. Maskapai lain seperti Garuda Indonesia atau Qantas memerlukan transit melalui Perth, Sydney atau Melbourne. Pilihan lainnya adalah transit satu kali di Singapore (SIA) atau KL (MAS).
Kami naik taksi dari bandara menuju kantor Apollo untuk mengambil campervan sewaan kami. Setelah membayar administrasi dan dijelaskan tentang cara kerja campervan, kami cabut mencari sarapan. Si Ayah rupanya tidak mengalami kesulitan nyetir campervan barunya. Yah, seperti nyetir mobil van biasa, hanya saja harus waspada dengan suara gedombrangan kalau ada laci yang belum dikunci atau barang yang belum dimasukkan ke laci 'dapur'.
Little A ngeyel pengen beli fish & chips di IKEA, bangunan besar yang dia lihat begitu keluar dari bandara. Duh, agak repot juga kalau mesti mampir IKEA, bisa-bisa nggak jadi berkenalan dengan Adelaide. Akhirnya Little A bisa gembira lagi setelah disogok hash brown oleh si Ronald. Hash brown Mc D emang juara :p
Adelaide Uni |
Ekskul Dayung di sungai Torrens |
Mungkin itu sebabnya kota ini sering jadi pilihan tempat kuliah bagi pelajar dari Indonesia. Selain kotanya yang lebih tenang, biaya hidup, terutama sewa apartemen/rumah tidak semahal kota lain di Aussie. Ada beberapa universitas yang cukup terkenal dan bergengsi di Adelaide, di antaranya University of Adelaide dan Flinders University.
Kami memarkir Campervan di tepi sungai Torrens, di dekat University of Adelaide. Maksudnya mau numpang pipis di Uni :) Tarif parkir di tepi jalan sekitar $3 per jam tergantung lokasi dan hari. Jangan cari-cari tukang parkir di sini ya? Karena adanya mesin parkir. Kita tinggal memasukkan koin atau bayar dengan kartu kredit sesuai 'lama parkir' yang kita kehendaki. Mesin akan mengeluarkan tiket yang menampilkan jatah parkir kita sampai jam berapa. Tiket parkir ini harus diletakkan di atas dasbor dan bisa dilihat dari luar, kalau nggak mau ditilang. Jangan sekali-sekali nggak bayar parkir sesuai aturan di Australia, kecuali kalau mau menyumbang pemda setempat sekitar $100 :)
Waktu yang sangat terbatas hanya cukup untuk mengunjungi dua tempat saja di Adelaide. Setelah baca-baca info, saya putuskan untuk mengunjungi Art Gallery of South Australia dan Central Market. Yang terakhir sekalian belanja bahan mentah untuk dibawa road trip.
Galeri Seni negara bagian Australia Selatan ini terletak di North Terrace, satu kompleks dengan museum dan perpustakaan. Campervan tetap kami parkir di dekat Uni dan kami berjalan kaki lewat jalan tembus universitas, sekitar 15 menit. Gedung galeri seni South Australia ini sangat khas, mirip dengan yang di New South Wales. Petugas di resepsionis sangat ramah, memberi kami brosur dan panduan apa-apa saja yang bisa dilihat di galeri seni ini. Nggak ada tiket masuk kok, gratis dan terbuka untuk umum. Kami melihat-lihat koleksi permanen yang menampilkan lukisan dan benda-benda seni bersejarah yang ditemukan di Australia Selatan. Terus terang koleksi galeri seni ini kurang sangar dibandingkan koleksi Art Gallery of NSW yang punya lukisan-lukisan dari abad pertengahan Eropa. The Precils hanya terkesan dengan lukisan Sydney Harbour yang baru saja kami tinggalkan :)
Kemudian kami lanjut ke galeri temporer. Di Michael Abbott gallery ditampilkan karya seniman dari China dan Indonesia. Tidak seperti Si Ayah, saya selalu merasa getaran aneh tiap kali melihat karya anak bangsa dihargai di luar negeri (mungkin kebanggaan pada tanah air?). Karya-karya di pameran ini mengekspresikan aspirasi dan ketakutan masyarakat ketika terjadi perubahan politik di Indonesia dan China.
Sayangnya saya tidak bisa puas menikmati karya-karya seniman dari Taring Padi ini karena Little A begitu takut dengan instalasi patung manusia berbalut bunga dan memegang pistol. Namun ada satu yang menarik perhatian saya, karya Eko Nugroho yang berjudul: Rintihan Agar-Agar. Sayangnya saya tidak bisa menjelaskan mengapa :)
Selain karya seni politik, ada juga pameran karya seni Islam di Galeri 19. Salah satu yang ditampilkan adalah kain lawas untuk ikat kepala dari Palembang, Sumatera Selatan. Kain yang ditenun dengan benang emas dan diwarnai dengan pewarna natural ini berasal dari abad ke-19. Di sini ditampilkan juga kain batik panjang, dengan motif kaligrafi Arab dan pola bunga yang yang terinspirasi oleh taman raja-raja di Jawa.
Karya Eko Nugroho, seniman Taring Padi |
Koleksi kain lawas dari Palembang |
Kalau ingin jalan-jalan ke pusat kota sebenarnya hanya satu blok dari galeri seni ini. Di Rundle Mal, kita bisa jalan-jalan di trotoar yang lebar tanpa takut tersenggol kendaraan bermotor. Atau bisa juga duduk-duduk dan melihat orang-orang lewat. Sayangnya kami tidak punya banyak waktu. Kami juga tidak sempat ke pantai-pantai di Adelaide yang terkenal dengan sunset-nya yang cantik. Pantai di daerah Glenelg bisa dicapai dengan naik trem, sekitar setengah jam dari pusat kota.
Kami memilih kembali ke tempat parkir Campervan dan segera menuju Central Market yang terletak di Gouger St. Pasar ini buka mulai Selasa sampai Sabtu, dengan jam buka yang berbeda-beda, cek jadwalnya di sini. Minggu dan Senin pasar tutup.
Tempat parkir pasar ada di bawah tanah, tapi sebelum kami telanjur masuk, saya ingat bahwa campervan ini terlalu tinggi dan pasti akan menabrak tiang penghalang. Akhirnya kami parkir di pinggir jalan, 200 meter dari lokasi pasar. Dibanding dengan pasar serupa di Sydney: Paddy's Market, Central Market ini relatif lebih bersih. Display bahan makanan segarnya enak dipandang dan tentunya menggiurkan. Yang dijual di pasar ini adalah bahan makanan segar seperti sayur dan buah, berbagai macam keju, macam-macam roti, produk daging (beberapa di antaranya berlabel halal) dan hewan laut. Ada juga toko buku, kios bunga, kafe dan resto kecil di sekelilingnya.
Kami gerak cepat membeli sayur (lalapan) dan buah untuk road trip nanti. Kami juga membeli bahan-bahan mentah lain seperti susu, telur, minyak dan beras di supermarket Coles yang letaknya di sebelah pasar ini. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempatkan makan di restoran Malaysia di dalam pasar ini, sambil memandang bunga-bunga segar di kios sebelah :)
Buah-buah segar di pasar |
Chinatown |
Old building :p |
Tujuan kami adalah Cape Jervis, dermaga untuk menyeberang ke Kangaroo Island dengan feri. Kami rencananya mengejar feri pukul 6 sore. Jarak dari pusat kota Adelaide ke Cape Jervis sekitar 107 km, perlu waktu satu setengah jam dengan mobil. Kami berangkat dari kota sekitar jam 3 sore, jadi masih aman dan ada waktu cadangan kalau ada apa-apa, dan kalau tersesat...
Petunjuk jalan di Adelaide cukup jelas, kami tinggal mengikuti gambar feri untuk menuju Cape Jervis. Tapi ternyata ada satu ruas jalan raya yang ditutup karena perbaikan. Ini membuat kami bingung dan kalang kabut. GPS menyarankan kami mengambil jalan lain yang akhirnya malah membuat kami tersesat dan berputar-putar. Ketika berusaha mencari jalan kembali, kami melihat jalan yang tadinya ditutup sudah dibuka kembali. Ealah, memang sedang diuji kesabarannya.
Setelah kembali ke jalan yang benar (literally), kami kembali diuji oleh peraturan konyol di kota ini. Kecepatan maksimal yang diperbolehkan di jalan tol Adelaide hanya 60km/jam. Duh! Ini jalan bebas hambatan lho. Satu-satunya hambatan ya peraturan konyol itu tadi. Dengan bersungut-sungut Si Ayah tetap menyetir dengan kecepatan maksimal (60km/jam) dan banyak mobil mendahului kami (lha!). Saya jadi teringat cerita teman, dengan batas kecepatan berkendara maksimal seperti ini, kota Adelaide cocoknya untuk pensiunan dan warga senior. Ditambah lagi, masih kata teman saya, cemetery alias kuburan bisa ditemukan setiap 100m :) Gara-gara teman yang satu ini, saya jadi memperhatikan setiap kali melewati cemetery. Memang lumayan banyak sih :p
Lepas dari tol dalam kota, pemandangan berganti dengan kebun-kebun anggur yang tinggal pokoknya saja. Meskipun tanpa daun, pemandangan pohon-pohon anggur yang berjajar rapi ini cukup indah. Daerah Australia Selatan memang terkenal sebagai penghasil anggur terbaik di Australia. Mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai ibukota wine di Australia. Pusat kebun-kebun anggur ini ada di Barossa Valley, sekitar 56 km di sebelah utara kota.
Setelah dua jam perjalanan, dihiasi dengan rintik-rintik hujan yang sesekali turun, kami akhirnya melihat lautan. Cape Jervis sudah di depan mata. Masih ada sekitar 45 menit sebelum feri membuang sauh. Kami berempat sudah tidak sabar untuk menyeberang!
To Kangaroo Island we go! |